Kata Papua

Bansos Jadi Instrumen Pemerintah Wujudkan Kemandirian Rakyat - Kata Papua

Bansos Jadi Instrumen Pemerintah Wujudkan Kemandirian Rakyat

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Bansos Jadi Instrumen Pemerintah Wujudkan Kemandirian Rakyat

Oleh : Syamsul Huda

Kebijakan bansos selama ini kerap dipersepsikan semata sebagai langkah karitatif untuk menambal kondisi darurat warga miskin. Padahal, dalam konteks pembangunan berkelanjutan, bansos memiliki potensi besar untuk menjadi alat strategis pemberdayaan ekonomi rakyat. Pemerintah, melalui pendekatan baru yang lebih progresif, kini tengah mengarahkan peran bansos tidak lagi sebagai bentuk belas kasih tanpa arah, tetapi sebagai jembatan menuju kemandirian. Gagasan ini menjadi angin segar dalam upaya pengentasan kemiskinan struktural yang selama ini menghantui banyak keluarga Indonesia.

 

 

 

 

Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar (Cak Imin), menjadi salah satu motor penggerak perubahan paradigma ini. Ia menegaskan bahwa bansos tidak boleh menjadi kenyamanan permanen bagi mereka yang masih berada dalam usia produktif. Dalam konsepnya, penerima bansos yang tergolong produktif idealnya hanya menerima bantuan maksimal selama lima tahun. Setelah itu, mereka diharapkan sudah merdeka secara ekonomi, mandiri dalam mencari nafkah, dan kuat menghadapi dinamika kehidupan. Hanya dua kelompok yang tetap diberikan hak atas bansos jangka panjang, yakni para manula dan difabel, karena keterbatasan fisik yang membuat mereka tidak memungkinkan bekerja secara aktif.

 

 

 

 

Gagasan ini menandai pergeseran penting dalam pola pikir kebijakan sosial. Pemerintah menyadari bahwa bantuan langsung yang berlangsung terlalu lama tanpa disertai pemberdayaan justru akan menumbuhkan ketergantungan yang kontra-produktif. Karena itu, Cak Imin menyampaikan rencana konsolidasi seluruh jenis bantuan sosial yang nilainya mencapai sekitar Rp 500 triliun ke dalam program yang lebih produktif. Fokus utama akan diarahkan pada pelatihan keterampilan, akses modal usaha, dan pendampingan ekonomi. Dengan begitu, penerima bansos tidak hanya menerima manfaat sesaat, tetapi juga bekal untuk keluar dari garis kemiskinan secara permanen.

 

 

 

 

Senada dengan itu, Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) menyatakan bahwa penerima bansos dari Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) akan dievaluasi secara berkala. Evaluasi ini penting untuk menilai apakah penerima yang tergolong usia produktif masih layak mendapatkan bantuan atau sudah mampu mandiri. Jika dinilai sudah kuat secara ekonomi, bansos akan dihentikan secara bertahap. Namun demikian, pemerintah tidak akan membiarkan mereka kembali terjatuh. Program pelatihan keterampilan, pemberian modal usaha, dan skema kewirausahaan akan disiapkan agar transisi dari ketergantungan menuju kemandirian dapat berjalan mulus.

 

 

 

 

Pendekatan baru ini menempatkan bansos bukan sebagai akhir dari intervensi negara, melainkan sebagai awal dari proses transformasi sosial-ekonomi rakyat. Gus Ipul menekankan pentingnya kebijakan ini agar tidak ada lagi fenomena warga sehat dan mampu bekerja tetap menerima bansos selama 10 bahkan 15 tahun. Situasi seperti itu justru menunjukkan kegagalan sistem dalam mendorong kemandirian. Oleh karena itu, langkah ini merupakan bagian dari koreksi besar terhadap orientasi kebijakan sosial masa lalu yang terlalu karitatif dan minim pengaruh jangka panjang.

 

 

 

 

Sementara itu, Pakar kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menyambut positif arah baru kebijakan bansos ini. Menurutnya, pembatasan masa penerimaan bansos bagi warga usia produktif sangat relevan untuk memastikan bahwa bansos tidak menjadi jebakan kenyamanan. Namun, Trubus juga mengingatkan agar pemerintah memperkuat aspek validasi dan integrasi data penerima bantuan. Ketepatan sasaran menjadi kunci agar kebijakan ini tidak berujung pada ketidakadilan sosial. Selain itu, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada sinergi antarkementerian, dunia usaha, dan masyarakat sipil untuk membentuk ekosistem pemberdayaan yang komprehensif.

 

 

 

 

Apa yang digagas oleh pemerintah juga selaras dengan visi besar Presiden Prabowo Subianto yang menargetkan angka kemiskinan ekstrem 0 persen pada tahun 2026. Untuk mencapai target ambisius ini, dibutuhkan pendekatan yang tidak hanya menyentuh permukaan, tetapi mampu membangun pondasi ekonomi rakyat dari bawah. Pendekatan yang berfokus pada pelatihan, pembinaan, dan modal usaha akan memperkuat ketahanan ekonomi keluarga sekaligus mempersempit ketimpangan sosial. Maka dari itu, bansos sebagai instrumen strategis tidak boleh lagi berhenti di level konsumsi, tetapi harus masuk ke fase produksi.

 

 

 

 

Dalam konteks pembangunan nasional, keberhasilan menciptakan masyarakat yang mandiri dan produktif akan mempercepat laju pertumbuhan ekonomi. Ketika warga mampu menciptakan pendapatan sendiri, beban fiskal negara juga akan berkurang dan sumber daya dapat dialihkan untuk sektor strategis lainnya. Maka dari itu, perubahan arah kebijakan bansos ke model pemberdayaan adalah langkah cerdas yang patut diapresiasi. Pemerintah tidak sekadar memberi kail, tetapi juga memastikan bahwa para penerima bantuan tahu bagaimana menggunakan kail itu untuk mendapatkan ikan yang cukup, bahkan berlebih.

 

 

 

 

Selain itu, masyarakat pun memiliki peran penting dalam mendukung keberhasilan kebijakan ini. Perlu adanya kesadaran kolektif bahwa bansos bukan hak yang melekat selamanya, tetapi bantuan bersyarat yang bertujuan membebaskan rakyat dari jeratan kemiskinan. Penerima bansos usia produktif harus memiliki semangat untuk berubah dan menunjukkan kemauan untuk berdaya. Di sisi lain, masyarakat yang tidak menerima bansos dapat berperan dalam proses pengawasan, advokasi, maupun keterlibatan aktif dalam program pemberdayaan yang dijalankan oleh pemerintah.

 

 

 

 

Di tengah tantangan ekonomi global dan ketimpangan sosial yang masih nyata, kebijakan pembatasan masa penerimaan bansos selama lima tahun bukanlah bentuk pemutusan bantuan secara semena-mena. Ini adalah strategi transisi dari ketergantungan menuju kemandirian. Pemerintah telah menunjukkan komitmennya untuk tidak sekadar menghentikan bantuan, tetapi menggantinya dengan pembinaan, pelatihan, dan dukungan ekonomi yang lebih tepat sasaran. Masyarakat usia produktif diharapkan mampu bangkit, membangun masa depan yang lebih baik, dan berdiri tegak di atas kaki sendiri.

 

 

 

 

)* Penulis merupakan Pengamat Kebijakan Publik.

Share:

Facebook
Twitter
Pinterest
LinkedIn
On Key

Related Posts