Kata Papua

Mahupiki dan FH USU Gelar Acara Sosialisasi KUHP di Medan - Kata Papua

Mahupiki dan FH USU Gelar Acara Sosialisasi KUHP di Medan

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

 

Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) Sumatera Utara bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (FH USU) menyelenggarakan Sosialisasi KUHP Nasional di Hotel Grand Mercure Maha Cipta Medan Angkasa, Sumatera Utara, Senin (9/1).

Ketua Mahupiki Sumatera Utara, Dr. Rizkan Zulyadi mengatakan KUHP baru ini merupakan produk hukum dan karya anak bangsa. Meskipun sudah disahkan, namun KUHP yang baru ini masih menuai pro dan kontra terkait pasal-pasal yang dinilai mengekang HAM.

“Kita harus bangga KUHP ini adalah produk atau hasil anak bangsa dan salah satu yang membedakan KUHP yang baru adalah memuat keseimbangan antara HAM beserta kewajibannya. Artinya aspek yang dibahas tidak hanya bagaimana kita menuntut HAM, tetapi juga membahas kewajiban-kewajibannya”, katanya.

Dekan FH USU, Dr. Mahmul Siregar mengatakan sudah lama bangsa ingin memiliki KUHP buatan sendiri. Masyarakat kita mendambakan dasar atau konsep hukum nasional yang sesuai perkembangan bukan lagi warisan kolonial Belanda.

“Wacana KUHP nasional sudah ada sejak tahun 1992, semasa saya kuliah. Tentu akan banyak perbedaan dengan KUHP yang sebelumnya, tetapi yang pasti hal itu akan mendasari lahirnya semangat persatuan dan lebih maju serta tetap menjunjung tinggi keberagaman”, ucapnya.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Prof. Dr. Pujiono mengatakan beberapa aspek yang menjadi dasar KUHP baru atau nasional adalah pada KUHP warisan kolonial belum adanya pemisahan aspek individu dan klaster; belum berorientasi pada orang atau aliran modern; tidak ada bab kesalahan atau pertanggungjawaban pidana; korban belum mendapat tempat atau berorientasi hanya pada pelaku; denda atau alternatif sanksi sangat sedikit atau sangat ringan karena bernilai pada masa kolonial.

“Dengan berbagai dasar pemikiran itu kemudian memunculkan ide-ide dalam KUHP baru dengan nilai-nilai dasar Pancasila; menjaga keseimbangan monodualistik; pengalaman historis dan kondisi empirik; serta perkembangan keilmuan atau teori serta dinamika masyarakat”, ujar Pujiyono.

Hal senada juga disampaikan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), Marcus Priyo Gunarto menjelaskan bahwa penolakan atau pro dan kontra sebuah produk hukum adalah hal yang wajar dan biasa.

“Meskipun baru disahkan tetapi sudah dianggap pro dan kontra bahkan dianggap mengancam kebebasan adalah hal yang wajar karena produk hukum atau KUHP ini tidak bisa lepas dari sudut pandang tertentu,” ucapnya.

Perubahan yang paling mendasar sebenarnya terletak pada buku pertama karena dimulai dengan perubahan paradigma pidana yang mana disepakati pidana adalah sebuah alat untuk mencapai tujuan. Dengan adanya perubahan landasan berpikir ini kemudian akan merubah semua tatanan dalam konteks peradilan pidana.

Marcus juga menyatakan, perjuangan bangsa ini untuk memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai kebanggaan nasional itu sudah menjadi kenyataan. Sebab, saat ini kita sudah memiliki KUHP yang baru.

“Jangan sampai penegak hukum pidana di Indonesia dilaksanakan berdasarkan ketidakmengertian sumber aslinya,” tegas Marcus.

Sementara itu, Ketua Senat Akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dr Surastini Fitriasih, SH MH menyatakan sejumlah isu-isu krusial di dalam KUHP terus berkembang seiring waktu, namun sebenarnya itu bersifat subjektif.

Dari pasal-pasal krusial yang ia identifikasi, semua berkembang sangat dinamis setiap saat, misalnya isu soal unjuk rasa yang menyebabkan kerusuhan, baru akhir-akhir ini muncul.

“Kalau kita baca penjelasan dan naskah akademik pada pasal-pasal krusial yang menjadi perdebatan publik, sebenarnya sudah sangat jelas dan gamblang bagaimana aturan hukumnya,” kata Dr Surastini.

Menurutnya, sejumlah pasal di KUHP baru, ada yang dihapus dan ditambahkan karena berdasarkan masukan berbagai pihak dan ahli hukum, sebagain pasal dan aturan itu sebaiknya diatur dalam peraturan daerah (perda). Itulah bentuk penyusuan KUHP yang sangat demokratis.

Sosialisasi KUHP di Medan ini diikuti sekitar 200 orang peserta, yang terdiri dari unsur tokoh agama, tokoh masyarakat, aparat penegak hukum dan mahasiswa, serta elemen masyarakat lainnya.

Dengan adanya sosialisasi ini juga diharapkan dapat meningkatkan pemahaman masyarakat akan pentingnya penyesuaian terhadap KUHP agar lebih sesuai dengan dinamika masyarakat yang ada saat ini.

Share:

Facebook
Twitter
Pinterest
LinkedIn

Most Popular

Categories

Related Post

Uncategorized
Mengecam Kelicikan KST Papua Jadikan Masyarakat Papua Tameng Hidup Oleh : Clara Anastasya Wompere Kelompok separatis dan teroris (KST) di Papua merupakan gerombolan kriminal dan pengacau yang sangat licik. Bagaimana tidak, pasalnya mereka dengan sangat tegas menggunakan warga yang merupakan masyarakat orang asli Papua (OAP) untuk menjadi tameng hidup pada saat terjadinya baku tembak dengan pihak aparat keamanan dari personel gabungan ketika mereka sedang terpojok. Satuan Tugas (Satgas) Tentara Nasional Indonesia (TNI) dari Batalyon Infanteri 133 Yudha Sakti terlibat baku tembak dengan gerombolan separatis tersebut, yang mana juga termasuk ke dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Kampung Ayata, Kabupaten Maybrat. Dalam baku tembak itu, sebanyak ratusan warga setempat berhasil dievakuasi oleh aparat keamanan untuk bisa menghindarkan mereka dari adanya upaya ataupun potensi akan intimidasi dari kelompok separatis. Seluruh warga telah dievakuasi ke tempat yang aman agar bisa menghindarkan mereka dari KST Papua. Komandan Satuan Tugas (Dansatgas) Letnan Kolonel (Letkol) Infanteri Andika Ganesha Sakti yang memimpin langsung Satgas tersebut berhasil menggagalkan upaya pengibaran bendera Bintang Kejora yang hendak dilakukan oleh kelompok separatis dan teroris dari Organisasi Papua Merdeka itu di Dusun Aimasa Lama, Kampung Ayata, Distrik Aifat Timur Tengah. Diketahui bahwa aksi pengibaran bendera Bintang Kejora tersebut dilakukan dalam rangka untuk memperingati Hari Manifesto Politik Papua Merdeka pada tanggal 1 Desember. Sempat terjadi baku tembak antara gerombolan separatis itu dengan pihak aparat keamanan dari Satgas TNI. Baku tembak tersebut terjadi saat aparat keamanan hendak berupaya untuk menggagalkan rencana pengibaran Bendera Bintang Kejora yang dilakukan oleh kelompok penentang ideologi negara itu. Mereka semua bahkan sempat sangat terdesak karena adanya tindakan tegas yang dilakukan oleh aparat keamanan. Akan tetapi, tatkala sedang terdesak, alih-alih menyerahkan diri, justru KST Papua melakukan cara licik lainnya, yakni melakukan intimidasi kepada warga setempat untuk menjadikan mereka sebagai tameng hidup pada saat baku tembak tersebut terjadi. Sontak, mengetahui adanya kelicikan yang dilakukan oleh gerombolan teroris dari Bumi Cenderawasih itu, aparat keamanan pun langsung bergerak dengan cepat dan dengan sangat hati-hati untuk melakukan penyelamatan kepada para penduduk kampung demi bisa menghindari jatuhnya korban jiwa dari masyarakat sipil. Pergerakan tempur yang dilakukan oleh pihak Satgas TNI sendiri kemudian membuahkan hasil yang sangat optimal, yakni aparat keamanan pada akhirnya berhasil memukul mundur KST Papua dan membuat mereka semua langsung melarikan diri masuk ke arah hutan dan perbukitan. Tentu saja upaya yang dilakukan oleh aparat keamanan tidak hanya berhenti sampai di situ saja, melainkan pihak Satgas TNI langsung mengerahkan sejumlah drone untuk melakukan pemantauan dari udara mengenai pergerakan yang dilakukan oleh gerombolan separatis tersebut. Dari hasil pantauan yang dilakukan melalui drone di udara, ternyata diketahui bahwa KST Papua yang melakukan penyerangan dan sempat melakukan kontak tembak dengan aparat keamanan bahkan hingga menjadikan warga sipil sebagai tameng hidup itu berjumlah sekitar delapan orang yang merupakan pimpinan dari Manfred Fatem. Mereka semua juga terlihat membawa beberapa pucuk senjata api. Terkait hasil pemantauan dan juga penyelidikan yang langsung dilakukan oleh aparat keamanan setelah sempat terjadinya kontak tembak hingga membuat KST Papua terpojok dan melarikan diri itu, Letkol Infanteri Andika Ganesha Sakti kemudian menuturkan bahwa ditemukan rencana dari pihak gerombolan teroris tersebut selain melakukan pengibaran akan bendera Bintang Kejora, namun mereka juga hendak menyusun rencana untuk melakukan penyerangan kepada aparat keamanan serta melakukan aksi teror yang dapat mengganggu kenyamanan serta kedamaian dari masyarakat setempat. Meski begitu, namun untuk saat ini, situasi akan keamanan dan kondusifitas di Kampung Ayata sendiri sudah secara sepenuhnya dikuasai oleh aparat keamanan dari personel gabungan yang terdiri dari TNI dan juga Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), yang mana seluruh aparat keamanan itu jelas akan tetap terus hadir bagi masyarakat untuk bisa memberikan rasa aman kepada warga setempat di Bumi Cenderawasih. Guna bisa memastikan upaya memberikan kenyamanan dan mendatangkan keamanan bagi masyarakat setempat di Papua hingga mereka semua bisa merasa aman, aparat TNI dari Satgas Yonif 133 Yudha Sakti juga memberikan bantuan logistik berupa makanan dan juga dukungan pelayanan kesehatan yang ditujukan bagi sebanyak ratusan penduduk. Lebih lanjut, pihak pasukan aparat keamanan juga sampai saat ini masih terus berupaya untuk melakukan pemburuan kepada para pelaku dari kelompok separatis dan teroris Papua itu serta membuat parameter akan pengamanan di sekitar wilayah perkampungan agar tidak sampai disusupi lagi oleh KST pimpinan Manfred Fatem. Sebenarnya gerombolan teroris dari KST Papua tersebut sama sekali tidak berdaya, pasalnya mereka hanya bisa melancarkan aksi yang sangat licik ketika sedang terpojok dalam baku tembak melawan aparat keamanan Republik Indonesia. Mereka dengan sangat tega bahkan menggunakan warga sipil yang tidak berdosa sebagai tameng hidup. )* Penulis adalah Mahasiswa Papua Tinggal di Yogyakart
On Key

Related Posts