Pemerataan Akses Jaringan Listrik Desa Wujud Dari Keadilan Energi Secara Nasional
Oleh : Lestari Notonegoro
Pemerintah menegaskan komitmennya untuk mewujudkan pemerataan energi melalui program elektrifikasi desa. Langkah ini menjadi manifestasi nyata dari prinsip keadilan sosial sebagaimana termaktub dalam Asta Cita, di mana seluruh warga negara, tanpa terkecuali, berhak menikmati akses energi yang layak dan berkelanjutan. Pemerataan akses jaringan listrik desa bukan hanya persoalan teknis ketenagalistrikan, tetapi juga cerminan dari tekad pemerintah menghadirkan kesejahteraan dan kemajuan di seluruh penjuru negeri.
Dalam rapat kerja bersama Komisi V DPR RI di Jakarta, Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendes PDT), Yandri Susanto menyampaikan bahwa pemerintah menargetkan seluruh desa di Indonesia sudah teraliri listrik selama masa pemerintahan Presiden Prabowo. Target ini telah dibahas dalam rapat kabinet dan menjadi prioritas lintas kementerian. Melalui koordinasi intensif antara Kemendes PDT, Kementerian ESDM, serta PT PLN (Persero), percepatan elektrifikasi di wilayah tertinggal dan terpencil terus dilakukan agar tidak ada lagi desa yang hidup dalam kegelapan.
Menurut Yandri, ketersediaan listrik merupakan indikator utama pemerataan pembangunan desa. Karena itu, berbagai program integratif dijalankan untuk memperluas infrastruktur dasar, termasuk penyediaan air bersih, pendidikan, dan jaringan digital. Kerja sama antara Kemendes PDT dan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) telah dijalankan untuk memastikan jaringan internet menjangkau seluruh desa, terutama desa wisata, ekspor, dan desa dengan potensi ekonomi lokal. Dengan demikian, pembangunan desa diarahkan agar inklusif, berkelanjutan, dan terintegrasi dengan transformasi digital.
Komitmen serupa juga disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia. Sejumlah proyek listrik masuk desa telah diresmikan, dan pemerintah menargetkan seluruh program tuntas pada periode 2029–2030. Proyek ini mencakup pembangunan infrastruktur kelistrikan di 5.700 desa dan 4.400 dusun di seluruh Indonesia. Hingga akhir tahun 2025, sebanyak 1.285 desa ditargetkan telah mendapatkan akses listrik melalui perluasan jaringan PLN. Arah kebijakan Presiden Prabowo menegaskan bahwa tidak boleh ada satu pun warga negara yang tertinggal dalam menikmati hak dasar berupa listrik.
Upaya tersebut mendapat apresiasi dari berbagai kalangan, termasuk akademisi. Ekonom Universitas Islam Sumatera Utara (UISU), Gunawan Benjamin menilai program listrik desa sebagai wujud nyata keadilan energi. Pemerataan akses listrik disebutnya sebagai bentuk distribusi keadilan yang harus dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Ia menjelaskan, elektrifikasi desa akan menciptakan efek domino terhadap sektor ekonomi, terutama bagi pelaku UMKM di pedesaan. Dengan adanya listrik, masyarakat dapat memanfaatkan teknologi digital, memperluas jangkauan pasar, serta meningkatkan efisiensi usaha.
Gunawan mencontohkan perubahan sederhana yang terjadi di masyarakat setelah listrik masuk ke desa. Ketersediaan lemari es, televisi, atau perangkat elektronik lain disebut telah mengubah pola konsumsi dan produksi masyarakat. Penggunaan energi modern dinilai mampu menekan biaya, memperpanjang daya tahan produk, serta meningkatkan kualitas hidup. Karena itu, ia menyarankan agar pemerintah juga mengoptimalkan sumber energi lokal seperti pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) dan pembangkit listrik tenaga angin, terutama di wilayah dengan potensi alam melimpah.
Senada dengan itu, pakar energi Universitas Sumatera Utara (USU), Warjio, M.A., Ph.D., menilai program elektrifikasi harus selaras dengan upaya transisi menuju energi bersih. Menurutnya, pembangunan listrik desa dapat dijadikan momentum memperkenalkan energi terbarukan di seluruh wilayah Indonesia. Pemanfaatan potensi lokal, seperti PLTMH di Minahasa, Sulawesi Utara, dinilai menjadi contoh ideal penerapan energi bersih di daerah terpencil. Ia menegaskan bahwa setiap wilayah memiliki kekayaan lokal yang berbeda, sehingga kebijakan energi perlu disesuaikan dengan karakteristik daerah masing-masing.
Sementara itu, pakar kebijakan publik dari USU, Fredick Broven Ekayanta, menilai target elektrifikasi 5.758 desa akan membawa dampak berlapis terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Listrik desa, menurutnya, tidak hanya menyalakan penerangan, tetapi juga membuka ruang tumbuhnya ekonomi baru, memperbaiki kualitas pendidikan, dan memperkuat sumber daya manusia (SDM) di daerah tertinggal. Kehadiran listrik juga disebutnya membuka akses internet yang berperan penting dalam pembangunan desa berbasis digital.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, rasio elektrifikasi nasional telah mencapai 98,53 persen hingga semester I tahun 2025. Artinya, hampir seluruh rumah tangga di Indonesia telah menikmati listrik, meskipun masih ada sekitar 1,47 persen rumah tangga di wilayah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T) yang belum terlistriki. Pemerintah pun menegaskan bahwa wilayah 3T menjadi prioritas utama pembangunan infrastruktur kelistrikan hingga rasio elektrifikasi mencapai 100 persen pada tahun 2030. Dua program utama—Listrik Desa (Lisdes) dan Bantuan Pasang Baru Listrik (BPBL)—digencarkan untuk mempercepat pemerataan akses energi.
Program BPBL telah menyambungkan listrik ke lebih dari 155 ribu rumah tangga di seluruh Indonesia sejak 2022, dan pada 2025 ditargetkan menjangkau 215 ribu rumah tangga. Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, menegaskan bahwa seluruh masyarakat, tanpa terkecuali, akan dipastikan mendapatkan listrik sebagai hak dasar. Ditekankan pula bahwa listrik bukan sekadar penerangan, melainkan fondasi bagi pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan.
Dukungan serupa datang dari kalangan akademik. Ketua Pusat Kajian Ketahanan Energi untuk Pembangunan Berkelanjutan Universitas Indonesia (Puskep UI), Ali Ahmudi, menyebut capaian elektrifikasi 98 persen merupakan kemajuan signifikan dibanding satu dekade lalu. Namun, ia mengingatkan bahwa pemerataan harus disertai keberlanjutan pasokan dan keterjangkauan harga. Karena itu, pendekatan energi terdesentralisasi seperti PLTS komunal dan mikrohidro dinilai penting agar pembangunan energi tetap efisien dan sesuai kondisi geografis.
Pemerataan listrik kini benar-benar dirasakan masyarakat, salah satunya di Dusun 3, Desa Sainoni, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur. Melalui Unit Pelaksana Proyek Ketenagalistrikan (UP2K) Kupang, PLN mulai membangun jaringan listrik desa yang selama ini menjadi penantian panjang warga. Antusiasme masyarakat tampak saat sosialisasi pembangunan dilakukan. Pembangunan tersebut disebut sebagai simbol kehadiran negara dan harapan baru bagi masyarakat di wilayah perbatasan.
General Manager PLN UIW NTT, F. Eko Sulistyono menegaskan bahwa perluasan jaringan listrik desa merupakan bagian dari komitmen besar PLN dalam mewujudkan keadilan energi. Ditekankan bahwa pembangunan listrik bukan hanya untuk menyalakan lampu, tetapi menyalakan harapan dan membuka jalan menuju kesejahteraan. Dengan kolaborasi aktif masyarakat, pembangunan di Desa Sainoni diharapkan selesai tepat waktu dan membawa perubahan positif bagi seluruh warga.
Melalui sinergi antara pemerintah pusat, PLN, akademisi, dan masyarakat, pemerataan akses jaringan listrik desa kini bukan lagi cita-cita yang jauh. Ia telah menjadi gerakan nasional menuju keadilan energi yang sesungguhnya di mana terang yang dinyalakan di pelosok desa adalah simbol kemajuan, kemandirian, dan kesetaraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
)* Pengamat Energi






