Kata Papua

Tokoh Papua Serukan Perdamaian dan Lawan Kekerasan Separatis OPM - Kata Papua

Tokoh Papua Serukan Perdamaian dan Lawan Kekerasan Separatis OPM

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Tokoh Papua Serukan Perdamaian dan Lawan Kekerasan Separatis OPM

 

 

 

 

Oleh: Loa Murib

 

 

 

 

Peristiwa penembakan brutal terhadap dua pekerja bangunan yang tengah mengerjakan rumah ibadah di Kampung Kwantapo, Distrik Asotipo, Kabupaten Jayawijaya, menjadi titik nadir kekejaman yang terus dipertontonkan oleh kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM). Dalam insiden mengenaskan ini, dua warga sipil, Rahmat Hidayat dan Saepudin, kehilangan nyawa mereka secara tragis. Serangan itu tidak hanya merenggut nyawa, tetapi juga mengoyak nilai-nilai kemanusiaan dan kesucian tempat ibadah yang semestinya menjadi ruang damai.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kebiadaban ini bukanlah yang pertama. Dalam beberapa tahun terakhir, deretan serangan serupa telah menunjukkan bahwa OPM semakin kehilangan arah dan legitimasi di mata rakyat Papua. Sasaran mereka bukan lagi aparat bersenjata, melainkan rakyat sipil tak bersalah—bahkan rumah Tuhan tak luput dari amukan peluru. Ironisnya, kelompok yang mengatasnamakan “perjuangan” itu justru menciptakan penderitaan mendalam bagi orang asli Papua yang mereka klaim ingin bebaskan. Alih-alih membela kepentingan masyarakat Papua, OPM justru menjadi sumber ketakutan dan trauma.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Namun, di tengah teror dan duka yang melanda, suara keberanian dan persatuan yang selaras dengan upaya pemerintah dan aparat keamanan menguat dari berbagai penjuru tanah Papua. Suara ini tidak datang dari pucuk senjata, melainkan dari lubuk hati rakyat yang menginginkan kedamaian. Suara ini datang dari tokoh agama, masyarakat, dan pemimpin daerah yang bersama-sama menyerukan perlawanan terhadap teror, bukan dengan kekerasan, tetapi dengan kekuatan moral dan persatuan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Wakil Bupati Jayawijaya, Ronny Elopere, secara tegas menyatakan bahwa apa yang dilakukan OPM bukanlah perjuangan, melainkan pembunuhan keji yang menghancurkan hidup masyarakat Papua sendiri. Ia menegaskan bahwa orang asli Papua tidak akan tinggal diam menyaksikan kekerasan terus berlangsung. Dalam seruan moral yang menggema, Ronny menyampaikan bahwa masyarakat harus bersinergi dengan aparat keamanan untuk mengakhiri teror yang selama ini membuat rakyat hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Ini adalah momentum bagi Papua untuk berdiri tegak, menolak kekerasan dalam bentuk apa pun.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Dukungan moral yang sama datang dari Ketua Klasis Baliem Yalimo, Pendeta Eduard Su, yang mengecam keras penyerangan terhadap gereja dan warga sipil. Ia menyebut tindakan OPM sebagai penghinaan terhadap tempat suci dan nilai-nilai agama. Gereja, yang seharusnya menjadi simbol perdamaian dan harapan, berubah menjadi medan berdarah karena kebiadaban yang tidak berperikemanusiaan. Menurut Eduard, kekejaman ini tidak bisa lagi ditoleransi, dan rakyat Papua harus bersatu menolak segala bentuk teror demi masa depan yang damai dan harmonis.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Respons masyarakat tidak lagi bisa bersifat pasif, tetapi harus diarahkan untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam menjaga stabilitas dan keamanan. Mereka bukan sekadar angka statistik korban, melainkan individu yang memiliki keluarga, harapan, dan masa depan. Saat rumah Tuhan dijadikan sasaran, maka yang diserang bukan hanya fisik bangunan, melainkan semangat dan iman komunitas. Maka dari itu, respons masyarakat tidak lagi bisa bersifat pasif. Ini saatnya untuk menunjukkan bahwa kekuatan Papua sejati terletak pada kebersamaan dan keteguhan hati dalam menjaga perdamaian.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suara dari akar rumput pun turut mempertegas penolakan terhadap teror. Markus Murib, seorang warga asli Papua yang selamat dari serangan, mengungkapkan ketakutan dan kekecewaannya. Ia menyatakan bahwa masyarakat kecil tidak ingin terlibat dalam konflik yang bukan milik mereka. Harapan mereka sederhana: hidup damai, bekerja dengan tenang, dan beribadah dengan aman. Pernyataan Markus mencerminkan realitas bahwa OPM telah kehilangan simpati dari masyarakat Papua itu sendiri.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Perlawanan terhadap teror ini tidak harus menggunakan senjata, namun harus diarahkan pada penguatan kolaborasi masyarakat dengan pemerintah dan TNI-Polri.. Ketika peluru diarahkan ke para pekerja gereja, sesungguhnya yang diserang adalah harapan akan masa depan Papua yang lebih baik. Maka, perlawanan terhadap teror ini tidak harus menggunakan senjata, tetapi dengan kekuatan kolektif untuk menolak kekerasan, melawan narasi separatisme, dan memperkuat sendi-sendi sosial kemasyarakatan yang selama ini menjadi benteng perdamaian.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Solidaritas seluruh elemen masyarakat menjadi kunci. Pemuka agama, tokoh adat, pemerintah daerah, hingga masyarakat sipil harus saling menguatkan dan menegaskan bahwa Papua adalah bagian utuh dari Indonesia yang menjunjung tinggi kedamaian dan nilai kemanusiaan. Kolaborasi dengan aparat keamanan dalam menjaga stabilitas harus terus diperkuat, namun pendekatan kultural dan kemasyarakatan juga menjadi fondasi penting untuk memutus mata rantai kekerasan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Masyarakat Papua tidak membutuhkan senjata untuk menyuarakan identitasnya, karena pemerintah telah membuka ruang seluas-luasnya bagi aspirasi dan pembangunan yang inklusif. Papua adalah tanah yang kaya akan budaya, spiritualitas, dan potensi sumber daya manusia yang luar biasa. Masyarakat Papua tidak membutuhkan senjata untuk menyuarakan identitasnya. Yang mereka butuhkan adalah jaminan keamanan, kesejahteraan, dan ruang untuk hidup damai di atas tanah leluhur mereka.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Serangan OPM terhadap rumah ibadah di Jayawijaya adalah bentuk kebiadaban yang tidak bisa dibenarkan dalam konteks apa pun. Namun tragedi ini juga menjadi cermin yang memperlihatkan bahwa kekuatan sejati Papua terletak pada suara damai yang menolak tunduk pada kekerasan. Masyarakat Papua kini bersatu, bukan untuk membalas dengan kebencian, tetapi untuk membangun masa depan yang bebas dari rasa takut.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

*Penulis adalah Mahasiswa Papua di Jawa Timur

Share:

Facebook
Twitter
Pinterest
LinkedIn
On Key

Related Posts