Kata Papua

Waspada Provokasi, Masyarakat Diminta Tidak Terjebak Gerakan Pencabutan Gelar Pahlawan Soeharto - Kata Papua

Waspada Provokasi, Masyarakat Diminta Tidak Terjebak Gerakan Pencabutan Gelar Pahlawan Soeharto

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Waspada Provokasi, Masyarakat Diminta Tidak Terjebak Gerakan Pencabutan Gelar Pahlawan Soeharto

Oleh: Arya Maheswara

Setelah Presiden RI menetapkan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional, dinamika opini publik berkembang menjadi gelombang baru yang mendorong pencabutan gelar tersebut. Gerakan ini muncul pasca peringatan Hari Pahlawan dan didorong terutama oleh kelompok-kelompok yang sejak awal memang menolak rekonsiliasi sejarah bangsa. Pemerintah memandang perkembangan ini sebagai situasi yang perlu dicermati, karena sebagian narasi penolakan tidak hanya bersifat emosional, tetapi juga diproduksi secara terorganisasi untuk menciptakan polarisasi. Karena itu, masyarakat diminta tetap waspada dan tidak mudah terseret dalam provokasi yang dapat mengganggu stabilitas nasional.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Putri Presiden Soeharto, Siti Hediati Hariyadi (mbak Tutut), sebelumnya telah mengingatkan bahwa perbedaan pendapat dalam masyarakat adalah hal wajar. Namun ia menilai ekspresi penolakan tidak boleh berubah menjadi tindakan ekstrem atau kampanye kebencian yang memicu konflik horizontal. Ia menegaskan bahwa semangat bangsa harus selalu mengarah pada persatuan, terlebih ketika negara telah mengambil keputusan melalui mekanisme resmi. Penekanan Tutut tersebut memperkuat pandangan pemerintah bahwa polemik mengenai gelar pahlawan harus ditempatkan pada ranah diskusi akademik, bukan agitasi politik.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pemerintah menilai bahwa penganugerahan gelar pahlawan tidak bisa diperlakukan semata-mata sebagai perdebatan opini, karena proses seleksi dilakukan melalui mekanisme negara yang ketat. Penilaian dilakukan oleh Dewan Gelar, sejarawan, kementerian teknis, serta lembaga negara lain yang berwenang. Dengan demikian, tuntutan pencabutan gelar yang disuarakan setelah keputusan ditetapkan bukan hanya tidak berdasar secara prosedural, tetapi juga berpotensi menggerus otoritas negara dalam menjaga kesinambungan sejarah nasional. Pemerintah menegaskan bahwa konsistensi negara adalah fondasi stabilitas, dan keputusan yang telah melalui proses panjang tidak boleh digoyahkan oleh tekanan kelompok tertentu.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Aktivis Papua, Charles Kossay, ikut menyuarakan penolakan terhadap wacana pencabutan gelar tersebut. Ia menilai bahwa sebagian pihak yang menolak gelar pahlawan bagi Soeharto menggunakan sudut pandang emosional dan tidak melihat keseluruhan kontribusi Soeharto dalam sejarah bangsa. Ia mengingatkan bahwa politik tidak boleh diwariskan sebagai dendam, karena itu hanya akan membuka luka lama dan memperpanjang polarisasi. Charles juga menyoroti peran penting Soeharto dalam integrasi Papua melalui Pepera 1969, yang menurutnya merupakan bagian dari tonggak sejarah yang sangat menentukan posisi Papua dalam NKRI. Dengan demikian, kontribusi tersebut tidak bisa dihapus hanya karena perbedaan pandangan politik saat ini.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Perspektif dari pemerintah juga ditegaskan oleh Menteri ESDM sekaligus Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia. Ia mengingatkan bahwa bangsa ini tidak boleh hanya menilai tokoh sejarah dari kekurangannya, tetapi harus memberi ruang bagi penilaian objektif yang mempertimbangkan kontribusi besar terhadap republik. Bahlil menegaskan bahwa pada era kepemimpinan Soeharto, Indonesia berhasil menekan inflasi, mencapai swasembada pangan, menjaga stabilitas energi, dan meletakkan fondasi pembangunan modern. Menurutnya, fakta-fakta historis ini menunjukkan bahwa negara memiliki alasan kuat untuk memberikan penghormatan kepada Soeharto sebagai pahlawan nasional.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Namun tekanan dari kelompok tertentu masih tetap muncul, provokasi melalui ruang digital juga menjadi tantangan tersendiri, karena penyebaran informasi sering kali dilakukan secara sepotong-sepotong tanpa menghadirkan konteks menyeluruh. Masyarakat harus mampu memilah informasi, sebab narasi yang dibangun oleh sebagian kelompok tidak menggambarkan proses objektif yang sudah ditempuh dalam penetapan gelar pahlawan. Negara tidak hanya menimbang catatan kelam masa lalu, tetapi juga menilai kontribusi besar terhadap ketahanan nasional, pembangunan ekonomi, dan modernisasi Indonesia. Tanpa kerangka penilaian menyeluruh, masyarakat dapat disesatkan oleh framing yang tidak adil.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Di tengah kondisi global yang semakin kompleks, pemerintah menekankan pentingnya menjaga stabilitas nasional. Indonesia hari ini menghadapi tantangan geopolitik, ketahanan energi, perkembangan teknologi, hingga kompetisi ekonomi antarnegara. Untuk menjawab tantangan tersebut, bangsa membutuhkan kesatuan visi dan ketenangan sosial. Gerakan pencabutan gelar pahlawan yang didorong oleh emosi dan kepentingan politik sempit hanya akan mengalihkan fokus bangsa dari agenda strategis pembangunan. Pemerintah memastikan bahwa kepentingan nasional jauh lebih penting dibandingkan perdebatan politis yang tidak produktif.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Rekonsiliasi nasional yang telah diperkuat selama lebih dari dua dekade terakhir tidak boleh diganggu oleh provokasi yang ingin membuka kembali konflik lama. Menghormati tokoh bangsa bukan berarti mengabaikan kritik terhadap sejarah, tetapi justru mengajarkan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menimbang sejarahnya secara proporsional. Ketika negara memilih untuk menghargai seorang pemimpin melalui gelar pahlawan, keputusan tersebut didasarkan pada keberanian, jasa, dan pengaruh besar terhadap perjalanan republik.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Oleh karena itu, masyarakat agar tidak terjebak dalam gerakan pencabutan gelar yang tidak berdasarkan penilaian objektif. Publik harus tetap tenang, tidak menyebarkan provokasi, dan memercayai mekanisme negara yang telah bekerja sesuai aturan. Dengan menjaga persatuan, menolak gerakan destruktif, dan menghormati keputusan negara, masyarakat berkontribusi terhadap kekuatan nasional yang lebih kokoh. Momentum pasca-Hari Pahlawan seharusnya menjadi ajang mempertegas penghormatan kepada para pemimpin bangsa, termasuk Soeharto, yang jasanya membentuk Indonesia hingga mencapai titik stabilitas dan pertumbuhan seperti hari ini.

 

 

 

 

 

)* Pengamat Sosial-Politik

Share:

Facebook
Twitter
Pinterest
LinkedIn
On Key

Related Posts