Waspadai Provokasi Indonesia Cemas, Pemerintah Pastikan Solusi Berkelanjutan
Oleh : Syahroni Nasution
Belakangan ini, publik disuguhi narasi “Indonesia Cemas” yang ramai di media sosial maupun aksi demonstrasi jalanan. Narasi ini berkembang dari sekadar kritik sosial menjadi potensi agitasi yang berbahaya bagi stabilitas nasional. Tanpa basis data yang jelas, opini-opini emosional menyebar liar, menimbulkan kekhawatiran dan keresahan di tengah masyarakat. Dalam situasi semacam ini, pemerintah mengambil langkah taktis dan strategis untuk menjaga ketenangan publik, memperkuat literasi, serta menghindarkan bangsa dari jebakan provokasi yang merugikan.
Kebebasan berpendapat memang dijamin dalam sistem demokrasi. Namun, penyampaian aspirasi semestinya dilakukan secara konstruktif, bukan melalui aksi yang lebih bersifat agitasi daripada edukasi. Narasi “Indonesia Cemas” misalnya, dalam banyak hal terlihat terlalu hiperbolis dan minim landasan ilmiah. Tuntutan-tuntutan yang diajukan pun kerap tidak menyentuh akar permasalahan, melainkan justru menciptakan polarisasi baru di tengah masyarakat.
Pemerintah merespons perkembangan ini bukan dengan pendekatan represif, melainkan melalui penguatan kapasitas literasi publik. Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama berbagai kementerian teknis lainnya aktif menginisiasi program literasi digital dan media, melibatkan tokoh masyarakat, komunitas, kampus, hingga lembaga swadaya masyarakat. Tujuannya tidak lain untuk membangun masyarakat yang cerdas dalam menyaring informasi serta mampu membedakan kritik konstruktif dengan agitasi destruktif.
Inisiator Gerakan Nurani Kebangsaan (GNK), Habib Syakur Ali Mahdi, menilai bahwa gerakan-gerakan emosional yang menjadikan media sosial sebagai alat utama penyebaran gagasan sangat rawan disusupi oleh kelompok anti-konstitusi. Ia menegaskan bahwa bangsa Indonesia tengah berada di fase penting transisi pemerintahan yang memerlukan stabilitas, bukan kegaduhan. Habib Syakur mengajak semua pihak untuk menjaga kewarasan publik dan menjauhkan diri dari retorika yang memecah belah.
Di sisi lain, proses transisi pemerintahan Prabowo-Gibran berjalan dalam koridor demokratis dan konstitusional. Visi besar Indonesia Emas 2045 tengah dirancang dan disusun melalui pendekatan inklusif, yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Proses ini tidak akan berjalan optimal tanpa dukungan masyarakat yang tenang, rasional, dan partisipatif.
Peneliti dari Centre for Islamic and Ethnic Studies (CIE), Muhammad Chaerul menegaskan bahwa di tengah situasi seperti sekarang, upaya membangun stabilitas nasional semestinya didukung, bukan dirusak oleh mobilisasi massa yang tidak menawarkan solusi nyata. Menurutnya warga negara justru harus mengawal proses transisi menuju pemerintahan agar berjalan mulus, bukan memperkeruhnya dengan narasi emosional yang membingungkan publik.
Stabilitas merupakan fondasi penting bagi keberhasilan setiap pemerintahan. Tanpa stabilitas, berbagai program kesejahteraan, infrastruktur, pendidikan, hingga transformasi digital akan terhambat. Kondisi ini pada akhirnya akan berdampak negatif terhadap rakyat itu sendiri. Oleh sebab itu, pemeliharaan iklim sosial yang kondusif menjadi kebutuhan bersama, bukan semata tanggung jawab pemerintah.
Dalam konteks gerakan mahasiswa, muncul pertanyaan apakah idealisme masih menjadi fondasi utama, ataukah telah tergantikan oleh kepentingan politik pragmatis. Hasan, seorang aktivis dari Corong Rakyat, menyoroti bahwa sebagian besar gerakan yang mengusung tagar “Indonesia Cemas” tampak lebih dipicu oleh emosi dan opini viral daripada kajian akademik. Ia mengkritik bahwa gerakan mahasiswa masa kini mulai kehilangan arah, berubah menjadi alat politik dan kehilangan identitas sebagai kelompok intelektual kampus.
Pemerintah tidak menutup mata terhadap keresahan masyarakat. Justru, kanal komunikasi publik terus dibuka luas melalui forum-forum diskusi, seminar, dan dialog bersama masyarakat sipil. Forum-forum ini menjadi ruang dialog yang produktif, menggantikan keramaian di jalanan atau narasi sesat di media sosial.
Selain itu, program literasi digital yang digagas oleh pemerintah tidak berhenti pada penyuluhan semata. Kegiatan ini diperkuat dengan pelatihan dan pelibatan aktif generasi muda, termasuk pelajar dan mahasiswa, untuk menjadi agen literasi di komunitasnya. Hal ini penting agar daya tahan masyarakat terhadap hoaks, disinformasi, dan provokasi semakin kuat.
Kritik yang sehat tetap dibutuhkan dalam dinamika demokrasi. Namun, kritik yang bernilai adalah yang menyuguhkan data, solusi, dan disampaikan melalui cara yang bermartabat. Demokrasi bukanlah panggung kebisingan, melainkan forum rasional untuk mencari solusi. Pemerintah pun tidak menutup telinga terhadap suara publik, selama disampaikan dalam bingkai kepatuhan hukum dan etika publik.
Di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran, bangsa Indonesia tengah diarahkan menuju lompatan besar menyongsong 100 tahun kemerdekaan. Tantangan besar akan dihadapi bersama, dari ketahanan ekonomi hingga transformasi sosial. Untuk itu, diperlukan sinergi seluruh elemen bangsa, bukan fragmentasi akibat narasi provokatif.
Sudah saatnya masyarakat mengambil peran aktif dalam pembangunan dengan cara yang sehat. Menjaga ruang publik tetap rasional, memperkuat literasi, dan menyalurkan aspirasi melalui jalur yang sah adalah langkah bijak dalam mengawal bangsa ini menuju masa depan yang gemilang. Pemerintah telah menunjukkan keseriusannya dalam menghadirkan solusi berkelanjutan, tinggal bagaimana publik menanggapi dengan kedewasaan dan tanggung jawab. Jangan biarkan provokasi menguasai narasi kebangsaan. Saatnya bersatu demi Indonesia yang lebih tenang, stabil, dan maju.
)* Penulis adalah seorang Pengamat sosial