Konflik Internal Makin Terbuka: Sebby Sambom Desak Egianus Minta Maaf ke Pejuang Papua
Di tengah belantara Papua yang bergolak, bukan cuma peluru yang bersahutan. Di balik kabut propaganda dan semburan jargon “kemerdekaan”, kini tersingkap keretakan yang tak terbantahkan di tubuh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat – Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM). Sosok yang dulu dielu-elukan sebagai “panglima pegunungan”, Egianus Kogoya, kini justru menjadi sorotan dan tuntutan. Bukan oleh TNI atau Polri, tapi oleh organisasinya sendiri.
*Egianus Kogoya: Panglima Tanpa Komando*
Tindakan Egianus menyerbu pos TNI-Polri di Kurima, Yahukimo yang secara administratif merupakan wilayah Kodap 16 Yahukimo tanpa restu dari Markas TPNPB-OPM, menjadi pemantik bara. Bukan hanya pelanggaran wilayah komando, tapi juga pelanggaran etika perjuangan versi TPNPB-OPM sendiri.
“Egianus tidak memiliki otoritas untuk melakukan serangan di luar Kodap 3 Ndugama,” tegas juru bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom, dalam pernyataan resminya. Ia bahkan menambahkan, “Kami tidak akan mengakui Egianus hingga ia meminta maaf secara terbuka.”
Sebuah pengakuan yang mencengangkan: TPNPB-OPM memiliki aturan main internal, lengkap dengan struktur komando, protokol wilayah, bahkan ancaman sidang militer internal untuk pelanggaran disiplin. Ironis, bukan? Di tengah kampanye bersenjata yang kerap dianggap liar dan tanpa hukum, ternyata mereka menyimpan _blueprint_ militeristik yang tak kalah ruwet dibanding pasukan resmi negara.
*Kasus Pilot Susi Air: Batu Sandungan atau Sabotase Internal?*
Masalah tak berhenti di pelanggaran wilayah. Sebelumnya, Egianus Kogoya juga dikritik karena membebaskan pilot Susi Air secara sepihak. Keputusan itu bukan hanya dianggap memalukan oleh faksi Sebby Sambom, tapi juga dianggap sebagai bentuk “pembelotan”.
Sebby Sambom menyebut bahwa tindakan Egianus Kogoya bertentangan dengan komitmen organisasi, dan merupakan bentuk pengkhianatan terhadap semangat “perjuangan bersenjata”. Bahkan disebut bahwa Egianus Kogoya sudah dipecat dan tidak diakui lagi sebagai komandan.
Lantas muncul pertanyaan: jika seorang “panglima perang” bisa dibuang hanya karena kebijakan tak populer, bagaimana soliditas gerakan ini ke depan? atau justru hal ini membuktikan satu hal bahwa OPM lebih sibuk berperang melawan dirinya sendiri ketimbang menghadapi lawan di luar?
*Perang Saudara yang Tak Pernah Diakui*
Jika konflik internal ini berlangsung dalam senyap selama bertahun-tahun, maka kini semua semakin ditelanjangi di hadapan publik. Situs-situs berita dan pengamat keamanan, atau pemerhati masalah Papua telah mencatat bagaimana generasi muda Papua mulai meninggalkan perjuangan berdarah, dan bagaimana TPNPB OPM tak lagi gagah di mata masyarakat lokal. Tak hanya itu, friksi dan faksionalisasi membuat TPNPB OPM lebih mirip konfederasi milisi bersenjata tanpa arah, ketimbang sebuah gerakan pembebasan nasional yang terkoordinasi rapi. Kekuatan mereka bukan lagi ditentukan oleh idealisme, tetapi oleh siapa yang memiliki senjata dan pasukan loyalis di kampung tertentu.
*Siapa Mengendalikan Siapa?*
Menjadi pertanyaan besar kini: siapa yang sesungguhnya memegang kendali? Apakah Sebby Sambom masih berpengaruh, ataukah Egianus Kogoya justru menjadi semacam _warlord_ lokal yang menjalankan agenda sendiri?
Kehadiran struktur Kodap-Kodap dengan batas wilayah, panglima daerah, bahkan “operasi gabungan” seolah menampilkan bahwa TPNPB OPM lebih seperti kongsi kekuatan bersenjata ketimbang organisasi tunggal. Tanpa koordinasi yang solid, perjuangan mereka lebih menyerupai _show of force_ antar panglima yang hanya menambah kekacauan dan korban di lapangan.
*Minta Maaf atau Mundur*
Bagi Egianus Kogoya yang telah banyak tersorot sepak terjangnya, jalan yang tersedia kini semakin sempit. Ia harus memilih: tunduk pada komando Sebby Sambom dan minta maaf kepada rakyat Papua (serta “sesama pejuang”), atau terus melaju sebagai panglima liar yang kehilangan legitimasi dan bisa menjadi sasaran dari dalam tubuhnya sendiri. Sementara itu, bagi publik Papua dan Indonesia, konflik internal ini memberikan satu pelajaran penting bahwa narasi kemerdekaan yang disuarakan TPNPB-OPM bukanlah satu suara. Ia retak, ia bertikai, dan kini, ia saling jatuhkan.
Seperti kata pepatah tua, _jika rumah terbakar dari dalam, tak perlu musuh di luar untuk menghancurkannya._ Dalam kasus TPNPB-OPM, barangkali Sebby Sambom dan Egianus Kogoya sudah cukup menjadi musuh satu sama lain.