Menolak Indonesia Gelap, Asta Cita Jadi Panduan Pembangunan Nasional
Oleh : Andika Pratama
Narasi “Indonesia Gelap” yang belakangan ini digaungkan di ruang publik bukan hanya tidak berdasar, tetapi juga berpotensi merusak optimisme nasional. Sebuah bangsa yang sedang tumbuh dan terus berbenah membutuhkan energi positif serta kritik yang membangun, bukan agitasi yang memecah belah. Menyebarkan pesimisme dengan membingkai kondisi Indonesia sebagai negara yang sedang terpuruk tidak mencerminkan realitas di lapangan dan hanya akan menciptakan kekacauan psikologis di tengah masyarakat.
Secara faktual, Indonesia masih menunjukkan kemajuan yang berarti di berbagai sektor. Stabilitas ekonomi tetap terjaga, daya beli masyarakat tidak mengalami penurunan signifikan, dan geliat aktivitas sosial maupun ekonomi terus berlangsung normal. Kehidupan demokrasi juga tetap berjalan, terbukti dari tahapan-tahapan politik seperti Pemilu 2024 yang berlangsung damai dan partisipatif. Oleh karena itu, narasi tentang “Indonesia Gelap” sejatinya lebih tepat disebut sebagai propaganda ketimbang kritik substantif.
Kepala Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, menilai bahwa aksi-aksi dan retorika tersebut lebih bersifat provokatif dibandingkan sebagai upaya mencerahkan ruang diskusi publik. Ia mengingatkan bahwa penyampaian kritik terhadap pemerintah seharusnya tetap berada dalam koridor etika politik dan logika kebangsaan, bukan dengan menebar ketakutan yang berlebihan. Apalagi, jika narasi tersebut digerakkan tanpa data yang memadai dan hanya bertujuan menciptakan kegaduhan.
Lebih dari itu, sejumlah tokoh nasional juga mencermati bahwa gerakan semacam ini kerap ditunggangi oleh kepentingan asing yang tidak ingin Indonesia tumbuh sebagai negara kuat dan mandiri. Ketua Umum GP Ansor, Addin Jauharudin, mengingatkan bahwa agenda-agenda besar seperti hilirisasi sumber daya alam dan kemandirian ekonomi sering kali menjadi ancaman bagi kekuatan global yang selama ini diuntungkan dari ketergantungan Indonesia. Dalam konteks ini, narasi “Indonesia Gelap” bisa dibaca sebagai bagian dari upaya merusak kepercayaan publik terhadap arah pembangunan nasional.
Penting untuk disadari bahwa Indonesia saat ini sedang berada pada momentum strategis menuju Indonesia Emas 2045. Pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka membawa visi besar untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan secara lebih konkret melalui delapan misi strategis yang terangkum dalam Asta Cita. Delapan pilar tersebut mencakup berbagai dimensi kehidupan bangsa, dari penguatan ideologi hingga pemberantasan korupsi, dari kemandirian pangan hingga toleransi antarumat beragama.
Asta Cita bukan sekadar dokumen politik, melainkan panduan pembangunan nasional yang komprehensif. Misi ini dirancang untuk menjawab tantangan nyata bangsa, sekaligus merespons kebutuhan masyarakat dari desa hingga kota. Di dalamnya terdapat semangat keberlanjutan, pemerataan, dan partisipasi rakyat secara aktif dalam pembangunan. Visi ini tidak bisa dijalankan hanya oleh pemerintah semata, melainkan harus mendapat dukungan kolektif dari seluruh komponen bangsa.
Dukungan ini mulai menguat dari berbagai kalangan, salah satunya dari Aliansi Jurnalis Hukum (AJH). Organisasi ini menyerukan agar masyarakat meninggalkan perbedaan politik pascapemilu dan bersatu mendukung pemerintahan baru. Ketua Umum DPP AJH, Dofuzogamo Gaho, mengajak semua elemen masyarakat, terutama intelektual, aktivis, dan profesional, untuk berperan aktif dalam memastikan terlaksananya Asta Cita secara optimal. Ia menekankan pentingnya menjaga persatuan dan menolak adu domba dari kekuatan luar yang ingin menggagalkan cita-cita kebangkitan Indonesia.
Dalam momentum 27 tahun reformasi, refleksi terhadap capaian dan kekurangannya juga menjadi penting. AJH menyoroti bahwa masih terdapat tantangan besar dalam upaya mewujudkan keadilan sosial, reformasi birokrasi, dan pemberantasan korupsi. Namun, semangat reformasi tidak boleh padam. Justru di era Prabowo-Gibran, harapan untuk membenahi kelemahan-kelemahan reformasi kembali terbuka lebar. Pemerintahan baru membawa komitmen untuk bekerja cepat, serius, dan tepat sasaran dalam mengatasi berbagai problem nasional.
Pemerintah pun menegaskan bahwa pembangunan ke depan tidak akan hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pemerataan hasil pembangunan. Program membangun dari desa, hilirisasi industri, serta penguatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan kesehatan menjadi inti dari kerja nyata yang diharapkan rakyat. Semua ini terangkum dalam Asta Cita, yang menjadi kompas arah pembangunan nasional jangka panjang.
Masyarakat harus lebih cermat dalam menyikapi setiap narasi yang tersebar, terutama di era digital saat ini. Disinformasi dan agitasi dengan kemasan populis bisa membelokkan pemahaman publik terhadap arah kebijakan negara. Oleh karena itu, peran media massa dan tokoh masyarakat sangat strategis untuk mengedukasi publik dan memperkuat optimisme bangsa.
Membangun Indonesia yang adil, makmur, dan berdaulat bukanlah pekerjaan singkat. Ini adalah kerja generasi, kerja yang membutuhkan sinergi antara negara dan rakyatnya. Semua pihak perlu menyadari bahwa pesimisme kolektif hanya akan memperlambat kemajuan. Sebaliknya, dengan mendukung agenda nasional secara rasional dan partisipatif, cita-cita Indonesia Emas 2045 bukanlah ilusi, melainkan tujuan yang sangat mungkin diraih.
Oleh karena itu, narasi “Indonesia Gelap” harus dilawan dengan data, prestasi, dan kerja nyata. Bangsa ini tidak sedang menuju kegelapan, melainkan sedang menapaki jalan panjang penuh harapan. Dengan menjadikan Asta Cita sebagai panduan pembangunan nasional, Indonesia akan terus bergerak menuju masa depan yang lebih terang, kuat, dan bermartabat di mata dunia.
*Penulis adalah Pengamat dari Kajian Stategis Indonesia Institute