Pembaruan KUHAP Mendukung Supremasi Hukum Nasional
Oleh: Aryo Wijaya
Pemerintah terus menunjukkan komitmennya dalam memperkuat supremasi hukum nasional melalui pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai bagian integral dari reformasi hukum pidana nasional. Seiring dengan akan diberlakukannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru mulai 2 Januari 2026, pembaruan KUHAP menjadi langkah logis sekaligus mendesak untuk memastikan sistem peradilan pidana Indonesia tidak lagi bertumpu pada produk hukum kolonial, melainkan mencerminkan nilai-nilai keadilan dan kedaulatan hukum yang bersumber dari karakter bangsa Indonesia sendiri.
Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menempatkan reformasi hukum pidana ini dalam kerangka besar pembangunan hukum nasional. Ia menekankan bahwa KUHP baru adalah bentuk konkret dari upaya dekolonisasi hukum yang telah lama menjadi aspirasi kebangsaan.
Menurut Yusril, sistem hukum pidana nasional yang dirumuskan pemerintah kini dibangun dengan memperhatikan asas-asas hukum yang hidup di tengah masyarakat, baik yang bersumber dari adat istiadat, tradisi, maupun nilai-nilai keislaman. Pemerintah tidak lagi menempatkan sanksi pidana semata sebagai alat pembalasan atau penjeraan seperti dalam sistem hukum warisan kolonial, melainkan sebagai sarana pemulihan, ketentraman sosial, dan keadilan restoratif.
Dalam proses menyongsong penerapan KUHP yang baru, pembaruan KUHAP menjadi penting untuk memperkuat mekanisme implementasi hukum pidana. Hal ini mencakup pembenahan menyeluruh terhadap proses penyidikan, penuntutan, dan peradilan agar berjalan secara lebih efisien, akuntabel, dan selaras dengan asas due process of law.
Salah satu aspek penting dalam pembaruan KUHAP ini adalah penguatan peran jaksa sebagai dominus litis, yakni pemegang kendali utama atas perkara pidana sejak tahap awal proses hukum hingga putusan pengadilan. Gagasan ini diperkuat oleh banyak negara penganut sistem civil law dan dinilai efektif dalam mempercepat proses peradilan serta menghindari tumpang tindih kewenangan antara penyidik dan penuntut umum.
Pentingnya dominus litis juga ditegaskan oleh akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Junaedi. Menurutnya, pembaruan KUHAP harus menguatkan posisi jaksa sebagai pengendali perkara agar penegakan hukum tidak terus terhambat oleh persoalan teknis seperti bolak-baliknya berkas perkara antara kepolisian dan kejaksaan. Dengan penegasan ini, proses hukum diharapkan berjalan lebih sistematis dan tidak menimbulkan ketidakpastian bagi masyarakat. Penataan ini juga menjadi jaminan bahwa keputusan terhadap kelanjutan suatu perkara berada di tangan institusi yang mampu mempertimbangkan tidak hanya aspek hukum formil, tetapi juga keadilan substantif.
Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM tidak tinggal diam dalam menyambut implementasi sistem hukum pidana yang baru. Salah satu langkah strategis yang dilakukan adalah dengan menyelenggarakan sosialisasi masif kepada aparat penegak hukum, termasuk para calon perwira kepolisian.
Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum, Widodo, memandang bahwa pemahaman terhadap KUHP yang baru menjadi syarat mutlak bagi siapapun yang akan menjalankan fungsi penegakan hukum di Indonesia. Ia menggarisbawahi pentingnya KUHP baru sebagai fondasi hukum pidana nasional yang tidak hanya menyatukan norma-norma pidana dalam satu kodifikasi, tetapi juga menegaskan semangat demokratisasi hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Menurut Widodo, KUHP baru memuat sejumlah pembaruan penting yang wajib dipahami dalam konteks penegakan hukum modern. Salah satunya adalah pengakuan terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law, sebagai bentuk adaptasi terhadap realitas sosial dan kearifan lokal. Di samping itu, sistem pemidanaan yang diterapkan menjadi lebih proporsional dan berorientasi pada keadilan sosial.
Salah satu inovasi paling signifikan adalah diakuinya korporasi sebagai subjek hukum pidana, sehingga entitas bisnis yang melakukan kejahatan demi kepentingan organisasinya kini dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum. Hal ini merupakan jawaban konkret atas tantangan kejahatan yang bersifat sistemik dan terorganisir dalam struktur kelembagaan modern.
Sosialisasi yang dilakukan Ditjen AHU juga menjadi bagian dari strategi pemerintah dalam mengawal pelaksanaan KUHP dan KUHAP baru secara komprehensif. Pemerintah menyadari bahwa pembaruan hukum tidak hanya menyangkut perubahan norma, tetapi juga kesiapan sumber daya manusia yang akan menegakkannya. Dengan membekali para aparat hukum sejak dini, pemerintah berupaya membangun kultur hukum yang selaras dengan prinsip keadilan restoratif, keadilan sosial, dan supremasi hukum nasional.
Dengan semua upaya ini, jelas bahwa pembaruan KUHAP bukan sekadar revisi administratif, melainkan bagian dari transformasi fundamental sistem hukum pidana Indonesia. Dalam jangka panjang, hal ini menjadi pondasi penting untuk menciptakan kepastian hukum, perlindungan hak asasi manusia, dan sistem peradilan yang bermartabat. Pemerintah tidak hanya menunjukkan keberanian politik dalam mengakhiri ketergantungan terhadap hukum kolonial, tetapi juga kemampuan teknokratik dalam membangun sistem hukum yang berakar pada nilai-nilai luhur bangsa.
Reformasi hukum pidana yang dijalankan saat ini, melalui sinergi KUHP dan KUHAP yang baru, merupakan refleksi dari tekad negara untuk menegakkan supremasi hukum yang adil, demokratis, dan berkepribadian Indonesia. Pemerintah bukan sekadar pembuat aturan, tetapi penggerak utama lahirnya sistem hukum nasional yang mampu menjawab tantangan zaman tanpa meninggalkan jati diri bangsa.
)* Pemerhati masalah Hukum dan Kemasyarakatan