Kata Papua

RKUHP Tetap Hormati Kehidupan Privasi Masyarakat - Kata Papua

RKUHP Tetap Hormati Kehidupan Privasi Masyarakat

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

RKUHP Tetap Hormati Kehidupan Privasi Masyarakat

Oleh : Abdul Rozak

Keberadaan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) nyatanya memang tetap memberikan penghormatan terhadap kehidupan privasi masing-masing individu masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Maka dari itu polemik mengenai Pasal check-in hotel sebenarnya itu bukanlah ancaman pidana, melainkan merupakan delik aduan.


Belakangan ini banyak beredar kabar hingga menjadi viral di media sosial mengenai adanya pasal dalam draft RKUHP yang mengatur mengenai pasangan bukan muhrim ketika menginap berdua atau melakukan check-in di hotel akan terancam hukuman pidana bahkan hingga enam bulan penjara.

Larangan ini diatur dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dirilis 4 Juli 2022.


Kabar ini menimbulkan polemik di kalangan masyarakat. Tak terkecuali pemilik hotel dan penginapan yang selama ini menilai, keputusan menginap adalah privasi tamu. Namun, ternyata tidak lantas semua pasangan tidak sah yang menginap di hotel berdua bisa dipenjara. Sebab, aturan ini termasuk delik aduan. Rencananya, draf ini akan disahkan pada akhir 2022.

Tertulis dalam Pasal 416 ayat (1) bahwa setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II. Namun pada ayat (2) di pasal yang sama, disebutkan bahwa ancaman pidana ini merupakan delik aduan. Artinya, hanya bisa dipidana apabila ada yang mengadukan.


Pihak yang mengadu pun, diatur. Hanya bisa diadukan oleh: a. Suami atau istri, bagi orang yang terikat perkawinan; atau b. Orang tua atau anaknya, bagi orang yang tidak terikat perkawinan.

Lebih lanjut, dalam ayat (3) di pasal tersebut, tertuang bahwa pengaduan tak bisa dilakukan jika termasuk dalam ketentuan yang diatur dalam Pasal 25, 26 dan 30 di RKUHP.


Pasal 25 sendiri berbunyi: ayat (1) Dalam hal Korban Tindak Pidana aduan belum berumur 16 (enam belas) tahun, yang berhak mengadu merupakan Orang Tua atau walinya. Ayat (2) Dalam hal Orang Tua atau wali sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak ada atau Orang Tua atau wali itu sendiri yang harus diadukan, pengaduan dilakukan oleh keluarga sedarah dalam garis lurus.
Kemudian Ayat (3) Dalam hal keluarga sedarah dalam garis lurus sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) tidak ada, pengaduan dilakukan oleh keluarga sedarah dalam garis menyamping sampai derajat ketiga. Dan Ayat (4) Dalam hal Anak tidak memiliki Orang Tua, wali, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas ataupun menyamping sampai derajat ketiga, pengaduan dilakukan oleh diri sendiri dan/atau pendamping.
Sedangkan untuk Pasal 26 sendiri tertulis: Ayat (1) Dalam hal Korban Tindak Pidana aduan berada di bawah pengampuan, yang berhak mengadu merupakan pengampunya, kecuali bagi Korban Tindak Pidana aduan yang berada dalam pengampuan karena boros.
Lebih lanjut, untuk Ayat (2) Dalam hal pengampu sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak ada atau pengampu itu sendiri yang harus diadukan, pengaduan dilakukan oleh suami atau istri Korban atau keluarga sedarah dalam garis lurus. Sedangkan Ayat (3) Dalam hal suami atau istri Korban atau keluarga sedarah dalam garis lurus sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) tidak ada, pengaduan dilakukan oleh keluarga sedarah dalam garis menyamping sampai derajat ketiga.
Sementara itu, Pasal 30 berbunyi: Ayat (1) Pengaduan dapat ditarik kembali oleh pengadu dalam waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal pengaduan diajukan. Ayat (2) Pengaduan yang ditarik kembali tidak dapat diajukan lagi. Adapun Ayat 4 dalam Pasal 416 tentang kumpul kebo menyebutkan bahwa pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.
Mengenai seluruh kesalahpahaman yang tersebar luas di masyarakat melalui media sosial tersebut, Juru Bicara Tim Sosialisasi RU KUHP, Albert Aries menegaskan bahwa seluruh pandangan tersebut jelaslah salah karena jika ada pasangan bukan muhrim yang melakukan check-in berdua di hotel memang sama sekali tidak bisa serta merta dipidana penjara.
Justru menurutnya dengan diatur jelas dalam RKUHP tersebut, maka masyarakat pun juga tidak bisa langsung saja melakukan penggerebekan jika memang tidak disertai adanya aduan dari pihak-pihak yang telah diatur sebelumnya. Dengan kata lain, ruang privat seseorang justru menjadi terlindungi oleh hukum pidana, karena masyarakat atau pihak ketiga lainnya tidak bisa melakukan pelaporan ke pihak yang berwajib, dan juga tidak boleh melakukan tindakan main hakim sendiri (persekusi)
Dari seluruh uraian tersebut, sebenarnya sudah jelas bahwa sejatinya keberadaan RKUHP masih tetap menghormati seluruh kehidupan serta hal privasi dari setiap individu masyarakat Indonesia. Sehingga keresahan para pemilik bisnis hotel sebenarnya sudah terjawab, bahwa larangan check-in tersebut akan benar-benar bisa ditindaklanjuti apabila terdapat laporan terlebih dahulu dan tidak serta-merta bisa ditindak begitu saja.

)* Penulis adalah kontributor Nusa Bangsa Insitute

Share:

Facebook
Twitter
Pinterest
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

On Key

Related Posts