Kata Papua

RUU Perampasan Aset Jadi Pilar Baru Penguatan Pemberantasan Korupsi dan Respon Konkret 17+8 - Kata Papua

RUU Perampasan Aset Jadi Pilar Baru Penguatan Pemberantasan Korupsi dan Respon Konkret 17+8

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

RUU Perampasan Aset Jadi Pilar Baru Penguatan Pemberantasan Korupsi dan Respon Konkret 17+8

Oleh : Gavin Asadit

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada September 2025 mengambil langkah penting dengan memasukkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas. Kebijakan ini lahir di tengah meningkatnya tekanan publik, terutama melalui gelombang protes dan tuntutan masyarakat yang dikenal sebagai “17+8”. Publik menuntut respons nyata terhadap maraknya kasus korupsi dan pemulihan kerugian negara. Dengan masuknya RUU ini ke jalur cepat pembahasan, pemerintah dan DPR ingin menunjukkan bahwa mereka mendengar suara rakyat.

 

RUU Perampasan Aset sendiri bukan wacana baru. Naskah awalnya sudah pernah dibahas sejak lebih dari satu dekade lalu, namun selalu tertunda karena tarik-menarik kepentingan politik dan kekhawatiran terkait hak asasi. Kini, momentum politik berbeda. DPR melalui Badan Legislasi (Baleg) menargetkan penyelesaian pembahasan dalam tahun 2025 dengan prinsip keterbukaan. Ketua Baleg DPR, Bob Hasan, menyatakan bahwa publik harus bisa memahami isi RUU, bukan hanya mendengar judulnya. Proses yang transparan disebut penting agar kepercayaan masyarakat tidak kembali luntur.

 

Secara substansi, RUU ini memberi kewenangan negara untuk menyita atau merampas aset yang tidak bisa dijelaskan asal-usulnya, termasuk kekayaan yang diduga terkait tindak pidana korupsi atau pencucian uang. Berbeda dengan mekanisme saat ini yang menunggu putusan pidana final, perampasan aset bisa dilakukan melalui pengadilan khusus dengan pembuktian terbalik terbatas. Skema ini meniru praktik di sejumlah negara lain, seperti Australia dan Inggris, yang terbukti efektif menutup ruang para koruptor menikmati hasil kejahatan. Namun, agar sejalan dengan prinsip due process, setiap langkah harus tetap melalui proses pengadilan yang transparan dan adil.

 

Pemerintah melalui Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, memandang keberadaan RUU ini sebagai langkah strategis. Menurutnya, instrumen perampasan aset dapat menjadi alat yang efektif untuk memperkuat kemampuan negara dalam memulihkan kerugian akibat tindak pidana korupsi. Pemerintah menekankan bahwa meskipun kewenangan perampasan akan diperluas, pembatasan yang jelas tetap harus dirumuskan agar tidak menyimpang dari kerangka hukum acara pidana. Pandangan ini mencerminkan keseimbangan antara dorongan untuk memperkuat penegakan hukum dan kebutuhan menjaga prinsip keadilan hukum.

 

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga melihat RUU ini sebagai peluang untuk meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi. Ketua KPK, Setyo Budiyanto, menilai bahwa perangkat hukum ini dapat mempercepat pemulihan aset negara dan mencegah pelaku korupsi menikmati hasil kejahatan. KPK menekankan pentingnya sinkronisasi antara RUU dan hukum acara pidana yang ada, serta mekanisme pengawasan yang ketat, sehingga kewenangan perampasan aset benar-benar dimanfaatkan untuk kepentingan negara dan masyarakat.

 

Di sisi lain, sejumlah pakar hukum menekankan perlunya memperhatikan dimensi internasional. Banyak aset hasil kejahatan yang dialihkan ke luar negeri melalui rekening bank atau investasi. Tanpa kerangka kerja sama internasional yang jelas, upaya perampasan hanya akan efektif di dalam negeri. Karena itu, RUU ini juga harus mengakomodasi mekanisme mutual legal assistance (MLA) serta pengakuan dan eksekusi putusan pengadilan asing, agar aset di luar negeri bisa ditarik kembali ke kas negara.

 

Aspek pengelolaan hasil rampasan juga tak kalah penting. Selama ini, publik sering mempertanyakan transparansi penggunaan aset hasil sitaan korupsi. Pemerintah perlu memastikan agar aset tersebut tidak hanya masuk ke kas negara, tetapi juga bisa diarahkan untuk program yang berdampak langsung pada masyarakat, misalnya pendidikan, kesehatan, atau pembangunan daerah. Dengan begitu, publik dapat merasakan manfaat nyata dari proses pemulihan aset.

 

Dari perspektif ekonomi, keberadaan undang-undang ini juga diharapkan mampu menciptakan efek jera. Para pelaku korupsi tidak lagi bisa merasa aman menyembunyikan hasil kejahatan dalam bentuk aset. Ke depan, potensi kerugian negara akibat tindak pidana korupsi yang mencapai triliunan rupiah setiap tahun dapat ditekan. Hal ini juga akan meningkatkan kepercayaan investor asing terhadap tata kelola hukum di Indonesia, karena negara menunjukkan komitmen nyata terhadap pemberantasan kejahatan keuangan.

 

Pemerintah memandang RUU Perampasan Aset sebagai langkah maju dalam memperkuat upaya pemberantasan korupsi sekaligus menjawab tuntutan masyarakat. Jika disahkan dengan mekanisme yang transparan dan akuntabel, regulasi ini diyakini dapat menjadi pilar baru untuk memastikan aset negara kembali kepada rakyat. Pemerintah juga menekankan pentingnya keterlibatan publik dalam setiap tahap pembahasan, karena pengawasan masyarakat akan menjadi penopang agar instrumen ini berjalan tepat sasaran.

 

Keberhasilan RUU Perampasan Aset pada akhirnya akan ditentukan oleh konsistensi dan keseriusan semua pihak. Pemerintah, DPR, lembaga penegak hukum, serta masyarakat harus berjalan seiring untuk memastikan undang-undang ini benar-benar menjadi instrumen pemulihan aset rakyat, bukan sekadar simbol politik.

 

)* Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial dan Kemasyarakatan

Share:

Facebook
Twitter
Pinterest
LinkedIn
On Key

Related Posts