Membangun Negeri dari Pinggiran Lewat Listrik Desa
Oleh: Zikri Adiyatma
Pemerintah Indonesia terus mempertegas komitmennya untuk membangun negeri dari pinggiran melalui program strategis elektrifikasi desa. Bukan sekadar memenuhi kebutuhan dasar, kehadiran listrik menjadi simbol nyata dari keadilan sosial dan pemerataan pembangunan yang menyentuh hingga ke pelosok negeri. Program Listrik Desa (Lisdes) bukan hanya proyek infrastruktur, tetapi juga wujud kehadiran negara di tengah masyarakat yang selama ini terpinggirkan.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menetapkan target elektrifikasi terhadap 5.758 desa yang hingga saat ini belum teraliri listrik. Dalam rentang waktu 2025–2029, pemerintah akan membangun pembangkit listrik dengan total kapasitas mencapai 394 megawatt dan menyambungkan akses listrik kepada sekitar 780 ribu rumah tangga.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa langkah ini adalah bentuk tanggung jawab negara yang harus dilaksanakan tanpa pengecualian. Baginya, program ini lebih dari sekadar urusan teknis. Pengalaman masa kecilnya di Maluku Tengah yang belum terjangkau listrik menjadi pengingat bahwa setiap anak bangsa berhak mendapatkan akses terhadap penerangan dan kenyamanan dasar. Ia meyakini bahwa energi adalah alat untuk mewujudkan pemerataan dan keadilan nasional.
Kementerian di bawah kepemimpinannya kini bergerak cepat menginventarisasi desa-desa yang belum berlistrik sebagai dasar penyusunan rencana kerja lima tahunan. Pemerintah juga membuka peluang kolaborasi dengan pihak swasta untuk menanamkan investasi hingga Rp50 triliun dalam rangka percepatan elektrifikasi nasional. Bahlil menilai bahwa keterlibatan investor akan mempercepat tercapainya target, sekaligus menjadikan sektor energi desa sebagai instrumen ekonomi produktif.
Sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh dalam penyediaan tenaga listrik, PT PLN (Persero) menjalankan mandat negara untuk menghadirkan listrik hingga pelosok. Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, memastikan kesiapan perusahaannya untuk mengeksekusi Program Lisdes sesuai dengan rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2025–2034.
Darmawan melihat bahwa listrik bukan lagi kebutuhan tambahan, tetapi merupakan kebutuhan primer yang harus tersedia merata di seluruh wilayah Indonesia. PLN menjadikan program ini sebagai pengejawantahan sila kelima Pancasila, di mana keadilan sosial diwujudkan melalui kehadiran energi bagi semua kalangan, tak terkecuali masyarakat di wilayah terpencil dan terluar.
Dalam kerangka pelaksanaan, hingga akhir tahun 2024 pemerintah telah berhasil menghadirkan listrik di 83.693 desa dan kelurahan. Namun upaya belum berhenti di situ. Pemerintah terus memperluas jangkauan hingga ke daerah-daerah yang masih terisolasi dari jaringan utama.
Selain itu, untuk memastikan bahwa masyarakat miskin juga dapat menikmati manfaat listrik, pemerintah melalui Kementerian ESDM telah menyalurkan 367.212 sambungan bantuan pasang baru listrik (BPBL) antara tahun 2022 hingga 2024. Program ini menjadi bukti bahwa akses energi tidak hanya dibuka, tetapi juga dibuat terjangkau dan inklusif.
Respon positif terhadap implementasi program ini juga datang dari kepala daerah yang menyaksikan langsung dampaknya terhadap kualitas hidup masyarakat. Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, menyampaikan bahwa program Lisdes membawa perubahan signifikan bagi warganya, terutama mereka yang tinggal di daerah kepulauan. Ia menilai bahwa kehadiran listrik telah membuka peluang baru dalam sektor pendidikan dan ekonomi.
Sebelumnya, keterbatasan akses energi menjadi hambatan utama bagi masyarakat untuk berkembang. Kini, listrik menjadi katalisator kemajuan desa yang selama ini tertinggal dari arus utama pembangunan nasional.
Apa yang dilakukan pemerintah dalam program Lisdes menjadi bagian dari visi besar membangun Indonesia dari pinggiran. Ini adalah manifestasi dari arah kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang ingin memastikan bahwa setiap jengkal tanah Indonesia memiliki hak yang sama dalam mendapatkan pelayanan dasar.
Program Lisdes dikerjakan secara bertahap, namun konsisten dan terukur, dengan target penyelesaian hingga tahun 2029. Melalui pendekatan yang inklusif dan terfokus, pemerintah ingin memastikan bahwa tidak ada lagi anak bangsa yang harus belajar dalam gelap, atau masyarakat yang bergantung pada lampu pelita karena belum tersentuh aliran listrik negara.
Pemerintah memandang bahwa membangun infrastruktur energi tidak dapat ditunda, karena menyangkut masa depan bangsa. Listrik menjadi penentu utama produktivitas warga desa, memperluas akses informasi, dan membuka ruang bagi pertumbuhan industri kecil di tingkat lokal.
Dengan adanya listrik, kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat akan terangkat lebih cepat dan lebih merata. Oleh karena itu, program Lisdes bukan hanya jawaban terhadap kebutuhan, melainkan instrumen pembangunan yang menyentuh langsung jantung ketimpangan wilayah.
Listrik tidak lagi menjadi kemewahan, melainkan bagian dari kehidupan sehari-hari yang dijamin oleh negara. Pemerintah tidak berhenti pada janji, melainkan bekerja dalam senyap namun progresif untuk mengubah wajah desa menjadi bagian dari gerak maju Indonesia secara utuh.
Dengan semangat ini, negara membuktikan bahwa pembangunan dari pinggiran bukan sekadar slogan, tetapi agenda prioritas yang dijalankan dengan keberanian dan ketekunan. Program Listrik Desa menjadi tonggak penting dalam menyatukan Indonesia secara energi dan mempercepat transformasi sosial ekonomi yang inklusif. Pemerintah menunjukkan bahwa terang itu bukan milik segelintir orang, melainkan hak seluruh rakyat yang layak diperjuangkan sampai ke pelosok terakhir negeri ini.
)* Pemerhati Kebijakan Pemerintah