Kata Papua

Pemerintah Jawab Narasi Indonesia Cemas dengan Aksi Konkret di Sektor Pendidikan - Kata Papua

Pemerintah Jawab Narasi Indonesia Cemas dengan Aksi Konkret di Sektor Pendidikan

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Pemerintah Jawab Narasi Indonesia Cemas dengan Aksi Konkret di Sektor Pendidikan

Oleh: Mahmud Sutramitajaya

Indonesia tengah berada pada persimpangan penting dalam menyiapkan generasi penerus yang tangguh demi mewujudkan visi besar Indonesia Emas 2045. Tantangan generasi alpha yang lahir pada 2010 hingga 2024, serta generasi beta yang akan lahir mulai 2025 hingga 2039, dinilai kian kompleks seiring kemajuan teknologi dan perubahan sosial yang pesat. Menjawab narasi kekhawatiran publik, pemerintah pun mengambil langkah nyata dengan memperkuat fondasi pendidikan sejak usia dini.

 

 

 

 

Sejalan dengan tema Hari Anak Nasional (HAN) 2025 “Anak Hebat, Indonesia Kuat Menuju Indonesia Emas 2045”, pemerintah berkomitmen menyiapkan anak-anak Indonesia agar siap menghadapi masa depan yang semakin menuntut. Bekal pendidikan sejak dini diharapkan menjadi kunci agar generasi mendatang memiliki daya saing global, moral yang kuat, dan kemampuan adaptasi di era digital.

 

 

 

 

Salah satu tokoh yang menyoroti pentingnya penguatan pendidikan di masa dini adalah Prof. Dr. Rose Mini Agoes Salim, M.Psi, Psikolog sekaligus Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Menurutnya, generasi alpha adalah kelompok anak-anak yang lahir di era teknologi canggih. Keakraban mereka dengan gawai, internet, dan kecerdasan buatan seperti ChatGPT menjadi tantangan tersendiri dalam proses tumbuh kembang.

 

 

 

 

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Prof. Dr. Rose Mini Agoes Salim, M.Psi, mengatakan bahwa pola stimulasi untuk generasi ini tidak bisa hanya mengandalkan teknologi. Kebutuhan dasar anak akan stimulasi motorik kasar dan halus, kecerdasan kognitif, emosi, serta sosial tetap harus diasah melalui interaksi nyata. Ini berarti orang tua dan guru perlu memahami bahwa di balik layar gawai, anak-anak tetap membutuhkan dunia nyata sebagai ruang belajar utama.

 

 

 

 

Stimulasi konkrit bagi anak, lanjutnya, bisa diberikan melalui berbagai aktivitas di taman bermain, pendidikan anak usia dini (PAUD), maupun interaksi dengan teman sebaya. Anak perlu belajar merasakan kalah, menang, berempati, hingga mengendalikan emosi. Nilai-nilai moral seperti empati, kontrol diri, dan nurani tidak bisa diajarkan sepenuhnya melalui teknologi, tetapi melalui praktik langsung dalam keseharian.

 

 

 

 

Sebagai contoh, pembelajaran matematika sederhana pun tidak bisa sepenuhnya diserahkan pada teknologi. Anak harus benar-benar memahami konsep dasar penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Ini menjadi dasar literasi numerasi yang harus dikuatkan agar mereka tidak hanya bergantung pada mesin pencari jawaban.

 

 

 

 

Dalam konteks ini, peran keluarga sebagai pusat stimulasi anak juga menjadi sangat penting. Prof. Dr. Rose Mini Agoes Salim, M.Psi mengingatkan bahwa orang tua harus terlibat aktif. Pendidikan anak usia dini bukan hanya tanggung jawab lembaga pendidikan, tetapi juga orang tua sebagai pendidik pertama di rumah. Bahkan, idealnya orang tua ikut belajar bagaimana memberikan stimulasi yang tepat sesuai tahapan perkembangan anak.

 

 

 

 

Pemerintah sendiri terus berupaya menjawab kebutuhan stimulasi anak dengan menyediakan fasilitas pendidikan dasar yang memadai, meningkatkan kompetensi guru PAUD, serta mendorong pelibatan keluarga dalam pendidikan. Sosialisasi pola asuh positif juga terus dilakukan agar orang tua tidak menjadikan teknologi sebagai pengasuh utama anak.

 

 

 

 

Di sisi lain, tantangan anak Indonesia tidak hanya berhenti pada persoalan pendidikan formal dan stimulasi perkembangan. Perlindungan anak dari kekerasan, bullying, stunting, serta ketimpangan akses pendidikan juga menjadi isu mendesak yang tidak boleh diabaikan.

 

 

 

 

Dalam momentum HAN 2025, Ketua DPR RI, Puan Maharani, mengatakan bahwa peringatan Hari Anak Nasional tidak boleh sekadar menjadi seremonial tahunan. Menurutnya, momen ini harus dimanfaatkan untuk menjamin hak anak Indonesia atas perlindungan yang memadai, akses pendidikan yang setara, serta pemenuhan gizi agar terhindar dari stunting.

 

 

 

 

Data Pusiknas Bareskrim Polri hingga April 2025 mencatat lebih dari 5.000 kasus kekerasan terhadap anak. Fakta ini menunjukkan masih lemahnya sistem perlindungan anak di berbagai daerah. Banyak wilayah belum memiliki unit layanan anak yang memadai, sistem pelaporan kasus kekerasan belum terintegrasi, dan tenaga pendamping sosial masih terbatas jumlahnya.

 

 

 

 

Menyikapi hal tersebut, Puan Maharani menekankan perlunya pengarusutamaan perlindungan anak ke dalam kebijakan pembangunan nasional maupun daerah. Kebijakan perlindungan tidak boleh berdiri sendiri, melainkan harus terintegrasi dengan sektor pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial. Hal ini diyakini akan memberikan rasa aman bagi anak untuk tumbuh dan belajar secara optimal.

 

 

 

 

Selain itu, Puan Maharani juga mendorong pelatihan wajib bagi guru, tenaga medis, hingga perangkat desa terkait perlindungan anak dan kesehatan jiwa. Dengan pengetahuan yang memadai, mereka diharapkan mampu mendeteksi gejala kekerasan, bullying, maupun gangguan mental pada anak sejak dini.

 

 

 

 

Langkah strategis lain yang didorong DPR RI adalah melibatkan anak dalam musyawarah pembangunan desa dan kota. Partisipasi anak dinilai penting agar kebutuhan dan suara mereka terakomodasi dalam setiap kebijakan pembangunan. Anak bukan hanya objek pembangunan, tetapi juga subjek yang berhak menyampaikan aspirasi.

 

 

 

 

Pemerintah bersama DPR RI juga aktif mendorong program pencegahan stunting yang terintegrasi dengan pendidikan keluarga. Gizi buruk tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik anak, tetapi juga menghambat perkembangan otak yang berakibat pada rendahnya kualitas belajar. Oleh karena itu, edukasi gizi, peningkatan akses pangan sehat, serta pelayanan kesehatan dasar terus diperkuat.

 

 

 

 

Kerja sama lintas sektor menjadi kunci agar narasi kekhawatiran terhadap masa depan generasi Indonesia dapat dijawab dengan aksi konkret. Semua pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah pusat dan daerah, lembaga pendidikan, tenaga pendidik, orang tua, hingga masyarakat luas, diharapkan bersinergi memastikan anak Indonesia tumbuh hebat.

 

 

 

 

Dengan sinergi tersebut, Indonesia optimistis mampu memetik bonus demografi pada 2045. Anak-anak hari ini akan menjadi SDM unggul yang membawa bangsa ini menuju era Indonesia Emas. Pemerintah pun memastikan bahwa setiap anak memiliki hak yang sama untuk belajar, bermain, dilindungi, dan berkembang sesuai potensi terbaiknya.

 

 

 

 

Momentum dalam pendidikan menjadi pengingat bagi semua pihak bahwa masa depan Indonesia bergantung pada cara kita memperlakukan anak-anak hari ini. Lewat aksi nyata di sektor berbagai bidang, narasi Indonesia cemas bisa diubah menjadi optimisme bahwa anak hebat akan membawa Indonesia semakin kuat.

 

 

 

 

)* Penulis adalah mahasiswa Jakarta tinggal di Bandung

Share:

Facebook
Twitter
Pinterest
LinkedIn
On Key

Related Posts