Respon Cepat Pemerintah Kunci Keberhasilan Hadapi Karhutla
Oleh: Ricky Rinaldi
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) merupakan salah satu bencana ekologis yang kerap menjadi ancaman serius di Indonesia, terutama saat musim kemarau tiba. Namun, tahun 2025 ini, Indonesia menunjukkan kemajuan signifikan dalam mengendalikan karhutla berkat respon cepat dari pemerintah, khususnya pemerintah daerah. Keberhasilan ini bukan hanya hasil kebetulan, melainkan buah dari sinergi lintas sektor, kesiapsiagaan, serta kerja kolaboratif antara berbagai elemen seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), TNI, Polri, Manggala Agni, damkar, dan masyarakat.
Kepala BNPB, Letjen TNI Dr. Suharyanto, menyampaikan bahwa langkah cepat dan sigap menjadi kunci utama dalam mengendalikan karhutla sebelum api meluas dan sulit dikendalikan. Ia menekankan pentingnya pemadaman sejak api masih kecil agar tidak berkembang menjadi kebakaran besar. Ia juga mengingatkan semua pihak agar tetap waspada menghadapi musim kemarau dan tidak lengah dalam menjaga kesiapsiagaan.
Sikap proaktif ini terbukti efektif, seperti yang terjadi di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Karhutla yang melanda kawasan perbukitan Harau berhasil dikendalikan meskipun menghadapi medan geografis yang sulit, yakni bukit terjal berbatu. Hanya sekitar dua hektare lahan yang terbakar berkat kerja cepat tim gabungan. Hal serupa terjadi di Kabupaten Toba, Sumatera Utara, di mana karhutla seluas 10 hektare berhasil ditangani tanpa meluas lebih jauh.
Keberhasilan ini tidak terlepas dari peran aktif pemerintah daerah dan tim tanggap darurat di lapangan. Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, menyatakan bahwa keberhasilan pengendalian karhutla tersebut merupakan hasil kerja dari tim gabungan yang terdiri atas Manggala Agni, BPBD, TNI, Polri, damkar, serta masyarakat setempat. Ia menyebutkan bahwa pemadaman dilakukan sejak awal kemunculan titik api dan beberapa lokasi telah dinyatakan padam.
Abdul Muhari juga menyampaikan bahwa kesiapsiagaan pemerintah daerah harus diperkuat, terutama melalui patroli terpadu, edukasi kepada masyarakat, serta deteksi dini terhadap titik-titik panas. Ia menekankan pentingnya pelibatan masyarakat di wilayah rawan karena mereka memiliki peran strategis dalam pelaporan dini dan pemadaman awal. Pemerintah juga terus mengingatkan agar masyarakat tidak membuka lahan dengan cara membakar, karena tindakan tersebut menjadi salah satu penyebab utama karhutla.
Data dari Kementerian Kehutanan mencatat bahwa hingga April 2025, total luasan karhutla nasional mencapai 3.207 hektare, terdiri dari 1.227 hektare lahan gambut dan 1.980 hektare tanah mineral. Provinsi dengan tingkat karhutla tertinggi adalah Riau (699 hektare), Kalimantan Barat (494 hektare), dan Aceh (296 hektare). Sementara itu, berdasarkan pemantauan satelit Terra/Aqua MODIS NASA, titik panas yang terdeteksi dari Januari hingga Mei 2025 sebanyak 244 titik, mengalami penurunan 55,6 persen dibandingkan tahun sebelumnya pada periode yang sama.
Penurunan ini menjadi indikasi keberhasilan pendekatan pencegahan yang kini lebih diutamakan oleh pemerintah. Strategi tidak lagi hanya reaktif, melainkan lebih terfokus pada deteksi dan respon dini. Teknologi pemantauan berbasis satelit kini berfungsi secara real-time dan menjadi alat bantu penting bagi pemerintah daerah dalam menentukan lokasi rawan serta mengerahkan sumber daya secara tepat waktu.
Keterlibatan TNI dan Polri dalam upaya pemadaman juga memberikan kekuatan tambahan, baik dari sisi jumlah personel maupun stabilitas keamanan saat proses penanggulangan berlangsung. Koordinasi lintas sektor yang baik terbukti mempercepat pemadaman dan meminimalkan risiko di lapangan.
Pemerintah pusat melalui kementerian terkait juga telah mewajibkan perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor kehutanan dan perkebunan untuk lebih aktif dalam menjaga lingkungan di sekitar wilayah konsesi mereka. Pengawasan oleh pemerintah daerah terhadap wilayah tersebut juga terus ditingkatkan guna memastikan tidak ada pembiaran terhadap potensi kebakaran.
Namun demikian, Abdul Muhari mengingatkan bahwa potensi karhutla masih tinggi, terutama pada periode puncak kemarau antara Juni hingga Agustus. Oleh karena itu, ia menilai bahwa kesiapsiagaan harus terus dijaga dan ditingkatkan di seluruh lini.
Respon cepat, kolaborasi lintas sektor, pemanfaatan teknologi, dan partisipasi masyarakat kini menjadi empat pilar utama dalam penanggulangan karhutla. Pemerintah tidak hanya hadir secara normatif, tetapi juga tampil aktif dalam aksi nyata di lapangan. Kasus di Sumatera Barat dan Sumatera Utara dapat menjadi contoh nasional bahwa pengendalian karhutla yang efektif membutuhkan sinergi antara semua elemen.
Dibandingkan masa lalu, kini paradigma penanganan karhutla semakin progresif. Kini paradigma tersebut mulai bergeser ke arah pendekatan yang lebih tanggap dan terencana. Pemerintah dan masyarakat mulai menunjukkan pola kerja yang saling melengkapi, saling mendukung, dan responsif terhadap ancaman.
Jika pola ini terus dipertahankan, Indonesia diyakini mampu mengurangi luas dan frekuensi karhutla secara signifikan. Meski tantangan ke depan masih besar baik karena perubahan iklim, tekanan ekonomi, maupun keterbatasan sumber daya landasan sistem tanggap bencana yang cepat dan kolaboratif telah mulai terbentuk dengan baik.
Respon cepat bukan hanya soal kecepatan waktu, tetapi juga mencerminkan keberpihakan terhadap keselamatan manusia dan keberlanjutan lingkungan. Dengan strategi yang tepat dan kolaborasi yang solid, pemerintah menunjukkan bahwa karhutla bisa dikendalikan asal ditangani dengan kesungguhan sejak dini.
*)Pengamat Isu Strategis