RUU Perampasan Aset, Langkah Nyata Pemerintah Pulihkan Kerugian Negara
Oleh : Antonius Utama
Wacana pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset kembali mengemuka di tengah upaya pemerintah memperkuat tata kelola keuangan negara dan memberantas tindak pidana korupsi. RUU ini dinilai sangat penting dan mendesak untuk segera disahkan, bukan hanya sebagai instrumen hukum tambahan dalam pemberantasan korupsi, tetapi juga sebagai sarana untuk memulihkan aset negara yang selama ini hilang akibat tindak pidana. Ketidakhadiran regulasi yang spesifik mengatur mekanisme perampasan aset yang berasal dari tindak kejahatan telah lama menjadi celah dalam sistem hukum Indonesia, yang kerap dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan untuk menghindari tanggung jawab.
Dalam praktiknya, negara kerap mengalami kesulitan untuk mengembalikan kerugian akibat kejahatan luar biasa seperti korupsi, pencucian uang, narkotika, dan kejahatan terorganisir lainnya. Banyak kasus besar yang telah divonis secara inkrah, namun aset hasil kejahatannya tidak dapat dirampas atau bahkan tidak diketahui keberadaannya. Tanpa regulasi khusus, aparat penegak hukum hanya bisa melakukan perampasan aset melalui mekanisme pidana yang memerlukan pembuktian secara utuh di pengadilan. Ini menjadi hambatan serius, terutama ketika pelaku telah melarikan diri, meninggal dunia, atau tidak diketahui keberadaannya.
RUU Perampasan Aset hadir sebagai jawaban atas keterbatasan tersebut. RUU ini mengatur mekanisme hukum perdata dalam merampas aset hasil kejahatan, termasuk melalui pendekatan pembuktian terbalik atau non-konviksion based confiscation (NBC). Dengan skema ini, negara dapat menempuh jalur pengadilan untuk merampas aset tanpa harus menunggu vonis pidana pelaku. Dalam konteks ini, negara cukup membuktikan bahwa aset tertentu berasal dari hasil tindak pidana, sehingga dapat disita dan dikembalikan kepada negara tanpa harus membuktikan kesalahan individu terlebih dahulu. Prinsip ini sejalan dengan Konvensi PBB Menentang Korupsi (UNCAC) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 7 Tahun 2006.
Desakan untuk segera mengesahkan RUU ini juga datang dari berbagai lembaga negara, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, serta Kementerian Hukum. Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, dalam berbagai kesempatan menegaskan pentingnya RUU Perampasan Aset sebagai payung hukum yang tidak hanya mempercepat pengembalian kerugian negara, tetapi juga memberi efek jera bagi pelaku kejahatan. Selama ini, banyak pelaku korupsi yang meski telah dipenjara, namun masih dapat menikmati hasil kejahatannya karena aset tidak berhasil disita.
Pakar Hukum dan Pengamat Kebijakan Publik, Zainuddin menyatakan bahwa momentum ini bisa menjadi sinyal baik jika ditindaklanjuti dengan keseriusan politik dari partai-partai. Undang-undang ini sudah diusulkan sejak 2008, artinya sudah hampir dua dekade belum juga disahkan. Ia menegaskan bahwa dengan kehadiran UU Perampasan Aset sangat penting untuk memaksimalkan pemulihan aset negara. Ia menilai pendekatan saat ini tidak cukup efektif dalam mengembalikan kerugian negara dari pelaku kejahatan ekonomi
Dalam konteks ekonomi nasional, RUU ini berpotensi memperkuat keuangan negara. Setiap tahun, negara kehilangan triliunan rupiah akibat korupsi dan kejahatan terorganisir. Tanpa kemampuan memulihkan aset secara cepat dan efektif, maka kerugian tersebut akan semakin membebani APBN dan menghambat pembangunan. Melalui RUU ini, negara tidak hanya mengejar pelaku, tetapi juga mengejar hasil kejahatannya, yang selama ini sering disamarkan melalui alih bentuk aset, penggunaan nama pihak ketiga, atau pengalihan ke luar negeri.
RUU Perampasan Aset juga diharapkan dapat meningkatkan kredibilitas Indonesia di mata internasional, khususnya dalam kerja sama pemberantasan kejahatan lintas negara. Banyak negara maju telah memiliki regulasi sejenis yang memungkinkan mereka melakukan pemulihan aset lintas yurisdiksi secara efektif. Dengan disahkannya RUU ini, Indonesia bisa menjalin kerja sama hukum yang lebih kuat, baik dalam konteks bantuan hukum timbal balik (mutual legal assistance/MLA) maupun dalam kerja sama pelacakan dan penyitaan aset di luar negeri.
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan bahwa presiden Prabowo telah memberikan komitmen yang jelas untuk RUU Perampasan Aset. Maka dari itu, RUU Perampasan Aset harus berjalan dengan norma-norma yang ada. UU Perampasan Aset yang akan dibuat harus diiringi dengan pengondisian atau peningkatan akuntabilitas, integritas, dan kompetensi dari para aparat penegak hukum.
Namun, seperti halnya setiap produk hukum yang akan lahir, RUU Perampasan Aset juga perlu dikawal agar tidak disalahgunakan. Mekanisme pembuktian terbalik harus dirancang dengan prinsip kehati-hatian dan akuntabilitas tinggi. Pengadilan harus tetap menjadi lembaga independen yang menguji dan memutuskan setiap upaya perampasan aset, untuk menghindari praktik kriminalisasi atau pelanggaran hak asasi manusia. RUU ini bukan alat balas dendam atau tekanan politik, melainkan instrumen hukum untuk keadilan.
Keberhasilan pengesahan RUU Perampasan Aset akan menjadi bukti nyata bahwa negara hadir untuk melindungi hak-hak masyarakat, memperbaiki tata kelola, dan memperkuat integritas lembaga-lembaga penegak hukum.
Dalam perjalanan menuju Indonesia yang bersih dan berdaulat secara ekonomi, pengesahan RUU Perampasan Aset bukanlah pilihan, tetapi sebuah keharusan. Semakin lama regulasi ini ditunda, semakin banyak pula aset negara yang menguap dan sulit dipulihkan. Sudah saatnya langkah konkret diambil, bukan sekadar wacana, demi masa depan Indonesia yang lebih adil, transparan, dan sejahtera.
)* Pengamat Kebijakan Strategis